Minggu, 07 Desember 2014

PEMBELAJARAN AL QURAN DI PONDOK PESANTREN WARIA “AL FATAH” YOGYAKARTA (STUDI LIVING QURAN)


PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Pembelajaran al-Quran sudah menjadi sebuah keniscayaan bagi pesantren-pesantren dalam usahanya menciptakan para santri yang unggul dan ahli dalam membaca kitab suci al-Quran. Tidak sedikit mereka mendasarkan aktifitas tersebut dengan sebuah hadis Nabi  yang artinya “sebaik-baik kalian adalah yang belajar al-Quran dan mengajarkannya”.[1] Pembelajaran al-Quran sendiri sudah berlangsung sejak zaman Nabi, baik dengan sistem bandongan maupun sorogan. Dan seiring dengan perkembangan Islam yang meluas ke berbagai penjuru dunia, pembelajaran al-Quran menghadapi tantangan yang lebih kompleks terutama menghadapi mereka para umat Islam yang bukan berasal dari bangsa Arab yang tentu saja belum mengenal bahasa arab. Maka, muncullah kitab-kitab yang memudahkan mereka untuk bisa mahir membaca al-Quran.
Kaitannya dengan hal ini, pesantren merupakan salah satu lembaga yang berupaya menjaga dan melestarikan pembelajaran al-Quran sebagai sebuah warisan agung dari Nabi. Diantara pesantren-pesantren tersebut, pondok pesantren khusus waria  Al-Fatah adalah pondok pesantren yang masih konsisten melakukan pembelajaran al-Quran hingga saat ini dengan para santri yang berstatus sebagai seorang waria.
Terdapat  banyak hal menarik yang peneliti temukan ketika melihat pembelajaran al quran di pesantren tersebut, di antaranya yaitu: pertama, para santrinya yang berstatus sebagai waria yang dengan kesadaran masing-masing masih menganggap penting sebuah pembelajaran al-Quran. Kedua, waktu yang digunakan untuk kegiatan pembelajaran al-Quran bukan setiap hari, melainkan hanya pada minggu sore mulai pukul 16.30 sampai masuk waktu maghrib. Ketiga, pemaknaan mereka terhadap al-Quran itu sendiri yang menunjukkan bahwa seorang waria juga memiliki hak untuk mengenyam pendidikan al-Quran. Berangkat dari beberapa poin yang telah disebutkan diatas, peneliti tergerak untuk melakukan penelitian lebih lanjut terkait pembelajaran al-Quran di pondok pesantren khusus waria  Al-Fatah tersebut. Dengan harapan hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi semua lapisan masyarakat pada umumnya, dan masyarakat Islam pada khususnya.

B.     Rumusan Masalah
1)      Bagaimanakah praktek pembelajaran al-Quran di pondok pesantren khusus waria  Al-Fatah.   
2)      Bagaimankah makna yang terkandung dibalik pembelajaran al-Quran di pondok pesantren khusus waria  Al-Fatah.  

C.    Kerangka Teori
Teori sosiologi pengetahuan Karl Mennheim menjadi menarik ketika digunakan untuk melihat fenomena pembelajaran al-Quran di pondok pesantren khusus waria  Al-Fatah. Menurut Mennhein tindakan manusia dibentuk oleh dua dimensi, perilaku (behavior) dan makna (meaning).
Dari pendangan Mennheim tersebut, peneliti akan menggunakan teori sosiologi pengetahuan untuk menganalisis kaitan antara makna dan praktik pembelajaran al-Quran di pondok pesantren khusus waria  Al-Fatah. Selain untuk menyibak makna perilaku yang bersifat sosial, dengan teori sosiologi pengetahuan ini peneliti juga akan mencoba untuk mengungkap makna personal dari pelaku pembelajaran al-Quran di pondok pesantren khusus waria  Al-Fatah tersebut.      
D.    Metode Dan Tehnik Pengumpulan Data
Jenis penelitia ini merupakan penelitian lapangan (field reseach) yang menggunakan metode diskriptif kualitatif dengan pendekatan etnografi. Etnografi merupakn pekerjaan mendeskripsikan kebudayaan.[2] Jadi, pendekatan ini peneliti pilih untuk lebih mudah dalam menangkap dan menemukan bagaimana pandangan dan pemaknaan para santri mengenai pembelajaran al-Quran yang menjadi kegiatan rutin di pondok pesantren khusus waria  Al-Fatah tersebut.        Adapaun tehnik pengumpulan data yang peneliti pakai untuk mendapatkan data-data terkait pembelajaran al-Quran di pondok pesantren khusus waria  Al-Fatah adalah dengan wawancara, observasi, dan dokumentasi.



PEMBAHASAN

A.    Sejarah Berdirinya Pesantren Waria
Pesantren khusus waria pertama kali di rintis oleh Mariyani, seorang waria yang tergugah untuk mendirikan sebuah pesantren khusus waria yang ditujukan bagi para waria yang ingin mendekatkan diri kepada Allah. Pesantren ini tidak memiliki gedung atau bangunan representatif seperti pada umumnya, kajian keagamaan dilakukan di sebuah rumah kontrakan sederhana milik Mariyani di Notoyudan, Pringgokusuman, Godongtengen, Yogyakarta. Mariyani terinspirasi setelah sekian tahun mengikuti pengajian yang diampu oleh bapak KH. Hamrolie Harun dan karena terilhami gempa Yogyakarta 2006 yang pada saat itu ia mengundang para waria seluruh Indonesia untuk berdoa bersama. Pada tahun 2008 pesantren ini resmi dibuka dengan merekrut 22 santri waria.
Pada 21 Maret 2014, pendiri pondok pesantren waria, Mariani, meninggal dunia. Hal ini menyebabkan pesantren vakum sementara waktu. Kemudian pada tanggal 18 April pesantren kembali aktif sampai sekarang yang diketuai oleh murid dari Mariyani, yaitu Shinta yang terletak di Celenan, Kotagede, Yogyakarta. Mengenai dana yang digunakan untuk kelangsungan pesantren, baik Mariyani maupun Shinta menggunakan uang dari hasil keringat mereka sendiri dan dari para donatur. Saat ini jumlah waria yang nyantri sebanyak 35 dan terdapat sekitar 6 ustadz yang mengajar.
B.     Praktek Pembelajaran al-Qur'an di Pesantren Waria
Berbeda dengan pesanren-pesantren pada umumnya yang melangsungkan kegiatan belajar-mengajar setiap hari dengan intensitas waktu yang cukup tinggi.  Pembelajaran al-Quran di pondok pesantren khusus waria Al-Fatah hanya diadakan sekali dalam semiggu, yaitu pada hari minggu. Pembelajaran al-Quran tersebut dimulai pukul 16.30 WIB sampai masuk waktu maghrib dan setelah itu dilanjutkan dengan diskusi terbuka sampai masuk waktu isya’.
Disamping itu, para santri yang notebene para waria tersebut tidak semuanya bermukim di pesantren. Hanya Bu Shinta sebagai pimpinan pesantren, satu orang santri yang bertugas untuk memasak, dan satu santri yang bertugas untuk bersih-bersih yang bermukim di pesantren. Selebihnya para santri tinggal di luar pesantren sesuai dengan berbagai latar belakang sosial, pekerjaan, maupun kepentingan mereka. Barulah ketika hari minggu sore mereka datang ke pesantren untuk mengikuti kegiatan sebagai mana mestinya. Berikut adalah gambaran kegiatan yang berlangsung setiap minggu dalam satu bulan:[3]
Minggu
Ke
Sesi I
Sesi II
Sesi III
Sesi IV
Keterangan
16.30 – 17.30
17.45 – 18.45
19.00 – 19.30
19.35 – 20.15
I
Iqra’ & Tadarus
Jamaah Maghrib, Dzikir, Shalawat Nariah.
Jamaah Isya, Diskusi, Pengumuman.
Tausiyah
Doa
Ustadz Murtijo
II
Iqra & Tadarus
Jamaah Maghrib, Dzikir, Asmaul Husna,
Istirahat.
Jamaah Isya, Diskusi, Pengumuman.
Tausiyah
Doa

III
Praktek
Jamaah Maghrib, Tahlil, Istirahat.
Jamaah Isya, Diskusi, Pengumuman.
Kupasan Transgender dalam Islam.
Team UNISNU Jepara
IV
Iqra’ & Tadarus
Jamaah maghrib, Dzikir, Shalawat Nariah.
Jamaah Isya, Diskusi, Pengumuman.
Tausiyah
Doa





















1)      Gambaran umum pembelajaran
Kegiatan rutin setiap minggu sore di pondok pesantren khusus waria  Al-Fatah adalah mengaji al-Qur'an. Meski demikian, tidak semua santri dari ketiga puluh lima santri pondok pesantren khusus waria  Al-Fatah tersebut bisa mengikutinya. Sejauh pengamatan peneliti hanya sekitar lima sampai lima belas santri yang ikut berpartisipasi dalam kegiatan tersebut. Terkait dengan pembelajaran al-Qur'an, terdapat 6 tenaga pengajar tetap dan ada pula tenaga pengajar suka rela dari UNISNU Jepara yang turut membantu setiap satu bulan sekali.
Dalam kegiatan pembelajaran al-Quran di pondok pesantren khusus waria  Al-Fatah setidaknya dapat dibagi menjadi dua kategori. Pertama, mereka yang belum mampu membaca al-Quran. Untuk kategori ini, para waria belum menggunakan al-Quran sebagai objek bacaan mereka secara langsung. Mereka masih menggunakan buku “iqra” sebagai objek bacaan mereka. Dan dari keseluruhan santri, lebih banyak santri yang masuk dalam kategori ini yaitu sekitar dua puluh tujuh (27) santri. Kedua, mereka yang sudah mampu membaca al-Qur'an, sehingga mereka dapat langsung mengaji al-Qur'an dan disimak oleh para ustadz. Untuk santri yang masuk dalam kategori ini berjumlah sekitar delapan (8) santri. Dalam pembelajaran al-Qur'an ini terdapat pula kartu evaluasi yang dimiliki oleh masing-masing santri sebagai sarana untuk mengetahui seberapa progress para waria dalam belajar al-Quran.
Kualitas pembacaan al-Qur'an dapat dinilai dari dua kategori dasar, yaitu makharijul huruf dan hukum bacaan (tajwid). Mengenai hal ini, para waria masih dalam tahap belajar. Para waria membaca al-Qur'an semampu mereka di depan masing-masing ustadz yang kemudian dibenarkan oleh ustadz ketika didapati kesalahan atau kekurangan dalam makhraj dan hukum bacaan.  Bahkan untuk para santri yang masih belajar iqra, tidak jarang harus dituntun dan diingatkan ketika membaca materi-meteri yang tertulis dalam kitab tersebut. Adapun mengenai nada dalam membaca al-Qur'an, tidak ada nada khusus di pesantren waria ini.
Menurut analisis peneliti, para santri yang belajar al-Quran di pondok pesantren khusus waria  Al-Fatah lebih mementingkan pada keberlangsungan pembelajarannya itu sendiri. Dalam artian mereka tidak muluk-muluk ingin menjadi ahli dalam bidang al-Quran atau semacamnya yang mengharuskan mereka belajar al-Quran secara lebih intens dan dengan kadar yang lebih tinggi. Namun, peneliti juga melihat adanya persaingan didalam proses pembelajaran al-Quran di sana. Hal ini terlihat ketika mereka bertanya satu sama lain terkait halaman yang sudah mereka capai dari al-Quran maupun iqra’ yang mereka baca tersebut. Atau persaingan itu akan terlihat lebih jelas ketika salah satu diantara mereka seolah mengejek temannya yang halaman bacaannya masih berada dibawah halaman bacaanya.

2)      Seputar adab dan etika mengaji
Kegiatan belajar al-Qur'an dilaksanakan di beranda 'pesantren' mulai pukul 16.30 hingga adzan maghrib. Terkait adab dan etika, secara keseluruhan para santri waria memakai pakaian yang sopan ketika kegiatan pembelajaran al-Quran berlangsung. Meskipun waria merupakan orang-orang yang menganggap diri mereka seorang perempuan, ternyata ketika mereka dihadapakan dengan ritual-ritual keagamaan seperti mengaji al-Quran dan shalat, mereka tidak semuanya memakai pakain layaknya perempuan.
Secara garis besar pakaian yang digunakan para santri waria pondok pesantren khusus waria  Al-Fatah ketika kegiatan pembelajaran al-Quran dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu pakaian layaknya laki-laki dan pakaian layaknya perempuan. Mereka yang mengenakan pakaian layaknya laki-laki bisa terlihat jelas dengan atribut-atribu yang mereka pakai, seperti berbaju koko, sarung dan peci. Sedangkan mereka yang berpakaian layaknya perempuan disimbolkan dengan atribut yang mereka pakai, seperti mengenakan baju beserta celana panjang lengkap dengan kerudung dan ada juga yang memakai daster (baju langsungan) lengkap dengan kerudungnya.
 Selain itu, mereka juga membaca al-Qur'an secara pelan-pelan, tidak meletakkan al-Qur'an secara sembarangan, membawanya secara hati-hati serta menciumnya setelah selesai membaca. Hal ini didasari oleh penghormatan mereka yang tinggi terhadap kitab suci al-Qur'an, namun ketika mereka dihadapkan dengan buku Iqra' mereka memperlakukannya secara biasa saja seperti memperlakukan buku pada umumnya.
Namun, perlakuan mereka terhadap para ustadz yang mengajar relatif tidak ada perbedaan besar. Mereka sangat responsif, hormat, dan menghargai terhadap setiap ucapan atau pembenaran para ustadz atas kesalahan-kesalahan mereka ketika membaca al-Quran dan Iqra’. Penghormatan ini juga terlihat ketika mereka bersalaman dengan para ustadz ketika usai membaca al-Quran dan Iqra’, baik itu dengan mencium tanganya atau tidak.
Disamping kegiatan pembelajaran al-Quran, pesantren juga melakukan kegiatan-kegiatan lainnya. Jika dilihat berdasarkan table diatas, akan dapat ditemukan beberapa kegiatan lainnya seperti shalat maghrib dan isya’ secara berjama’ah, pembacaan dzikir setelah shalat, pembacaaan shalawat, dan diskusi bersama.
Kemudian ada beberapa agenda khusus yang dilakukan oleh pesantren dalam tempo tahunan (kegiatan tahunan), adapun kegiatan-kegiatan tersebut yaitu:[4]
1.    Ziarah : kegiatan ziarah sudah berulang kali dilakukan oleh para santri waria semenjak pesantren ini berdiri. Bentuk kegiatan ziarah ini yitu dengan berkunjung ke makam para ulama, sunan,  dan ke makam para waria lainnya yang telah wafat. Kegiatan ziarah ini biasa berlangsung di Yogya atau kota-kota lainnya.
2.    Bakti Sosial : bakti sosial biasanya mereka laksanakan dalam rangka memperingati transgender day ( hari transgender ). Bentuk kegaiatan yang mereka lakukan bervariasi, dimulai dari pemberian sembako gratis, cukur rambut gratis dsb. Yang terpenting esensi dari adanya baksos ialah pengabdian ke masyarakat. Tercatat sudah lebih dari lima kali para santri waria melaksanakan kegiatan bakti sosial, diantaranya ialah didaerah Stadion Maguwo, di Ponpes penanggulangan NAPZA Cangkringan, dua kali didaerah Muntilan, didaerah Codek, dan di Panti Asuhan Atap Langit.
3.      Bulan Ramadhan : bulan Ramadhan merupakan bulan yang istimewa, tak terkecuali juga bagi para waria. Bulan ini pun nampaknya mendapatkan perlakuan khusus di Pondok Pesantren Waria, kegiatan yang biasanya dilakukan hanya seminggu sekali, namun didalam bulan Ramadhan ditambah menjadi dua kali dalam seminggu. Kegiatannya pun ditambah menjadi lebih padat tidak seperti bulan-bulan biasanya. Juga ketika dalam bulan ramadhan banyak para santri yang bermukin di pesantren, tidak seperti biasanya yang ketika kegiatan para santri harus ngelajo ke pesantren.
4.      Syawalan : kegiatan syawalan yang biasa juga dikenal dengan istilah halal bi halal juga mereka lakukan. Kegiatan ini layaknya acara halal bi halal yang telah dikenal oleh masyarakat pada umumnya, yakni kegiatan saling memaafkan yang dibungkus dengan pengajian.
5.      Hari Raya Kurban : dalam rangka memperingati hari raya Idhul Adha atau hari raya kurban, Ponpes Waria biasanya juga turut memeriahkan dengan menyembelih hewan kurban. Hewan kurban biasa mereka dapatkan dari sumbangan atau mungkin mengajukan proposal.


C.    Makna Pembelajaran al-Qur'an di Pesantren Waria
Kaitannya dengan makna pembelajaran al-Quran di pondok pesantren khusus waria Al-Fatah peneliti memilih menggunakan teori sosiologi pengetahuan Karl Mennheim. Menurut Mennhein tindakan manusia dibentuk oleh dua dimensi, perilaku (behavior) dan makna (meaning). Oleh sebab itu, untuk memahami fenomena sosial seorang peneliti harus mengkaji antar lain: perilaku eksternal dan makna perilaku. Mennheim membagi makna perilaku menjadi tiga macam makna, yaitu: Pertama, makna ekspresif, yang diatributkan oleh ti ndakan aktor. Kedua, makna objektif yang ditentukan oleh konteks sosial dimana tindakan itu berlagsung. Ketiga, makna dokumenter, yang seringkali pelaku tersembunyi mengekspresikan aspek yang menunjuk pada kebudayaan secara keseluruhan.[5]

1)      Makna ekspresif.
Dalam kaitannya dengan makna ekspresif, disini peniliti mencoba memberikan gambaran tentang ruang sosial dan latar historis dari beberapa santri waria di pesantren waria Al-fatah. Dengan asumsi, peneliti akan lebih mudah mendapatkan makna ekspresif dari masing-masing santri terhadap pembelajaran al-Quran dan mengkonfirmasi apakah ruang sosial dan latar historis tersebut memberikan pengaruh terhadap makna ekspresif yang coba peneliti ungkap. Berikut beberapa santri yang akan peneliti paparkan secara singkat ruang sosialnya:
a.      Shinta Ratri. Ia merupakan waria asli Yogyakarta. Dalam stuktur kepengurungan pesanten waria, ia menjabat sebagai pengasuh. Shinta termasuk waria yang dituawan baik dalam pesantren maupun di luar pesantren, pasalnya selain aktif di pesantren ia juga menjabat sebagai ketua IWAYO – Ikatan Waria Yogyakarta-.
Shinta termasuk waria yang berpendidikan, terbukti jenjang pendidikannya tercatat hingga sampai perguruan tinggi. Bahkan ia cukup banyak dikenal oleh para aktifis gender dan feminis di Jogja. Sekarang ia bekerja sebagai wiraswata yang dalam bentuk usaha kos-kosan di dearah Kotagede, selin itu ia jug aktif di LSM kebaya bersama dengan teman-teman waria lainnya.
Shinta termasuk waria yang dapat membaca al-Quran, dan dia adalah orang yang mengkoordinir teman-teman warianya untuk kembali melanjutkan keberlangsungan pesantren pasca vacumnya pesantren sebab meninggalnya Maryani. Menurutnya pesantren ini sangtlah penting untuk mendorong spiritualitas teman-teman waria, pesantren adalah wadah yang memberikan tempat bagi para waria untuk dipandang sebagai manusia pada umumnya. Disamping itu, ia merasa kasihan terhadap teman—teman waria jika pesantren harus berhenti  total hanya karena meninggalnya Maryani. Selanjutnya,dengan adanya pembelajaran al-Quran ia memaknainya sebagai sarana ibadah untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah.
b.      Bunda Yeti. Waria yang sering dipanggil “Bunda” ini berasal dari Medan. Kemudian ketika masuk jenjeng SMA ia pindah ke Jogja, tepatnya di SMA Muhammadiyah II Yogyakarta. Ia juga termasuk waria yang dituakan, sebab umurnya yang sudah melebihi 50 tahun.
Bunda sudah banyak menjajal berbagai macam pekerjaan, mulai dari berdagang, pelayan hotel, di koperasi simpan pinjam, bahkan ia juga pernah berkecimpung dalam pekerjaan dunia malam, dan sekarang ia bekerja di LSM kebaya bersama Shinta.
Bunda juga salah satu waria yang sudah mampu membaca al-Quran. Ia juga sangat senang dengan adanya pesantren waria ini, sebab disini  ia merasa nyaman dan diterima sebagaimana manusia pada umumnya. Menurut pengakuannya, dulu ketika ia belum bergabung ke pesantren dan masih berkecimpung dalam dunia “selebriti” sedikit pun tidak pernah buka al-Quran, tidak pernah membacanya,  shalat pun tidak. Bahkan ketika mau shalat, banyak orang-orang yang merasa risi dan tidak nyaman ketika satu shaf dengannya.[6] Maka, dengan hadirnya pesantren waria ia mersa senang dan nyaman ketika malakukan ibadah. Kaitannya dengan pembelajaran al-Quran, ia memaknainya dengan  kebutuhan spiritual yang harus dilakukan oleh setiap muslim. Bahkan diantara teman-teman waria lainya, Bunda-lah yang paling jauh halaman bacaanya, ini menunjukkan bahwa ia memang sungguh-sungguh dan tekun dalam manjalankan pembelajaran al-Quran.
c.       Yuni Shara Al-Buchory. Biasa dipanggil dengan sebutan YS, dan merupakan waria asli Yogyakarta. Ia mengaku sudah merasakan gejala-gejala waria sejak dari SD, ia juga menolak teori yang mengatakan bahwa waria disebabkan oleh faktor lingkungan. Menurutnya waria itu adalah bawaan lahir, buktinya sejak ia kecil meski banyak temanya yang laki-laki tapi ia tidak nyaman bermain dengan mereka dan memainkan permainan mereka. Ia lebih nyaman bermain dengan perempuan dan dengan permainan mereka.
Ketika ditanya masalah pekerjaan, ia hanya menjawab “independen” dengan malu-malu.[7] Ia juga mengaku pernah belajar “Iqra” waktu masih kecil, namun ketika menginjak remaja dan sudah bekerja ia tidak pernah lagi membacanya sehingga lupa.
YS sendiri masih belum mampu membaca al-Quran, ia masih tergolong santri yang masih belajar Iqra’. Kemudian kaitannya dengan pembelajaran al-Quran di pesantren waria, ia merasa sangat senang sekali. Ia memaknainya sebagai sarana pembelajaran, melancarkan bacaan, menambah pengetahuan, dan mengingatkan akan masa kecilnya dulu mengingat ia telah lama lupa materi-materi yang diajarkan pada masa kecilnya dan telah lama tidak mengaji.
Berdasarkan ruang sosial, latar historis, dan makna ekpresif dari masing-masing santri yang peneliti paparkan diatas, dapat disimpulkan bahwa ternyata ruang sosial dan latar historis yang melingkupi mereka memberikan pengaruh terhadap pemaknaan yang mereka tangkap terkait dengan pembelajaran al-Quran. Pengaruh tersebut terlihat ketika mereka mencoba menjelaskan terhadap pemaknaan mereka terhadap al-Quran itu sendiri, sehingga makna ekspresif yang diperoleh pun menjadi variatif sesuai dengan ruang sosial dan latar historis dari masing-masing santri.
2)      Makna objektif.
Setelah mepaparkan makna ekspresif dari masing-masing –sampel- santri, kemudian peneliti mencoba mengungkap makna objektif dari praktek pembelajaran al-Quran tersebut. Berbeda dengan makna ekpresif yang akan menemukan variasi pemaknaan didalamnya, makna objektif harus mampu mengkaver semua variasi pemaknaan mereka dalam satu pemaknaan yang objektif.
Ketika makna itu dipaparkan oleh santri secara umum, pimpinan pesantren, dan para ustadz yang mengajar, kesemuanya dapat menunjukkan pada satu makna objektif yang sama, yaitu melihat pembelajaran al-Quran di pesantren tersebut sebagai sebuah kebutuhan spiritual yang harus mereka penuhi sebagai sarana mendekatkan diri kepada Allah. Sehingga menjadi sebuah kebiasaan amaliah yang menunjukkan karakter jiwa para santri waria di pondok pesantren Al-Fatah tersebut.
3)      Makna Dokumenter.
Makna dokumenter dari pembelajaran al-Quran di pondok pesantren Al-Fatah ini dapat diperoleh dari penelitian yang mendalam, karena makna dokumenter itu sendiri adalah makna yang tersirat dan tersembunyi. Yang secara tidak disadari bahwa dari praktek pembelajaran al-Quran di pondok pesantren Al-Fatah ini bisa menjadi suatu kebudayaan yang menyeluruh.
Karena merupakan makna yang tersirat dan tersembunyi yang bahkan terkadang tidak disadari oleh para pelaku, makna dokumenter bisa saja berbeda antara peneliti satu dengan peneliti yang lain dalam satu kasus yang sama. Atau dari satu peneliti menemukan lebih dari satu makna dokumenter dalam satu kasus.
Sejauh pengetahuan peneliti, pondok pesantren waria Al-Fatah adalah satu-satunya pesantren waria di dunia. Adapun pembelajaran al-Quran yang menjadi kegiatan rutin di pesantren ini dengan pengumpulkan waria dalam suatu majlis untuk mengaji al-Quran secara tidak langsung juga menjadi satu-satunya di dunia. Karena satu-satunya di dunia, makna documenter yang bisa peneliti tawarkan ialah bahwa pembelajaran al-Quran seperti ini menjadi sebuah fenomena (tren) baru dalam strategi  pembelajaran al-Quran kepada para waria.
Karena sangat sulit ditemukan –atau mungkin tidak ada— dari berbagai macam komunitas waria yang menadakan pembelajaran al-Quran khususnya waria yang beragama Islam. Komunitas-komunitas tersebut kebanyakan hanya mengumpulkan para waria untuk menyuarakan hak-hak gender mereka terhadap masyarakat yang selama ini memandang sebelah mata kepada para waria. Namun, secara tidak langsung sisi spiritualitas mereka terabaikan. Sehingga dengan adanya pembelajaran al-Quran di pesantren waria ini semoga menjadikan pancingan kepada para waria lainnya untuk memuaskan hasrat spiritualitasnya lewat komunitas-komunitas semacam pondok pesantren waria Al-Fatah ini.[8]

D.    Kesimpulan
1)      Pembelajaran al-Quran di pondok pesantren khusus waria Al-Fatah hanya diadakan sekali dalam semiggu, yaitu pada hari minggu. Pembelajaran al-Quran tersebut dimulai pukul 16.30 WIB sampai masuk waktu maghrib. Santri yang belum mampu membaca al-Quran diharuskan belajar Iqra’ terlebih dahulu, sedangkan santri yang sudah mampu membaca al-Quran bisa langsung membaca al-Quran dengan cara menyimakkannya pada para ustadz. Terkait masalah adab, para santri bersikap baik dan sopan terutama kepada para ustadz. Sedangkan pakaian yang mereka pakai ketika mengaji adalah pakaian yang sopan, baik itu berupa pakain laki-laki ataupun pakain perempuan.

2)      Berdasarkan teori sosiologi pengetahuan Karl Mannheim ditemukan tiga macam makna yang terkandung dalam prektek pembelajaran al-Quran di pondok pesantren Al-Fatah, yaitu: Pertama, makna ekpresif: peneliti mencatat bahwa dengan pembelajaran al-Quran tersebut menunjukkan bermacam-macam makna praktis sebagai sebuah pembelajaran, melancarkan bacaan, menambah pengetahuan dan kecerdasan, kebutuhan spiritual, dan sebagai ibadah. Perbedaan itu ternyata dipengaruhi oleh ruang sosial dan latar historis dari masing-masing pelaku.
Kedua, makna objektif:  dari pembelajaran al-Quran di pesantren tersebut adalah  kebutuhan spiritual dari para santri yang harus dipenuhi sebagia seorang muslim.
Ketiga, makna dokumenter:  dengan adanya prektek pembelajaran al-Quran di pondok pesantren Al-Fatah tersebut bisa menjadi suatu fenomena (tren) baru dalam strategi  pembelajaran al-Quran kepada para waria.
.


[1]  Imam Al-Bukhari, al-Shahih al-Bukhari, no. 4639, dalam CD Lidwa Pustaka I-Softwere.
[2] James P. Spradley, Metode Etnografi, trj. Misbah Zulfa Elizabeth, (Yogyakarta: PT Tiara Wacana, 1970), hlm.3.
[3] Berdasarkan jadwal kegiatan mingguan yang terpajang di pesantren waria.
[4] Berdasarkan wawancara dengan Bu Shinta selakuku pembina pesantren dan dokumentasi pesanten berupa foto-foto.
[5] James P. Spradley, Metode Etnografi, trj. Misbah Zulfa Elizabeth, (Yogyakarta: PT Tiara Wacana, 1970), hlm.3
[6] Bunda merupakan salah satu waria yang ketika melakukan ibadah, saperti shalat dan membaca al-Quran berpenampilan (berpakaian) layaknya seorang laki-laki. Namun ketika diluar itu ia berpenampilan layaknya seorang perempuan.
[7] Bahkan ketika peneliti sedang mewawancarainya, ada dari teman pria  yang menelponnya. Entah membicarakan apa, karena waktu itu YS minta izin untuk mengangkat telpon sambil mojok menjauh dari majlis. 
[8] Diantara bukti bahwa pesantren ini satu-satunya ialah banyak peneliti dari luar negeri yang berdatangan ke Jogja hanya untuk meriset pesantren ini. Kemudian, pengakuan dari teman peneliti yang juga meneliti pesantren ini (tentang politik kaum marjinal)  dan telah mempresentasikannya di Turki dalam acara seminar internasional cukup mencengangkan para peserta lainnya. Ia mengatakan bahwa pesantren ini memanglah satu-satunya, bahkan dari pihak Turki merasa ingin meniru apa yang telah dimulai pesantren waria Al-Fatah mengingat cukup banyak penduduknya yang berstatus waria.

Tidak ada komentar: