PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pembelajaran al-Quran sudah menjadi sebuah keniscayaan bagi
pesantren-pesantren dalam usahanya menciptakan para santri yang unggul dan ahli
dalam membaca kitab suci al-Quran. Tidak sedikit mereka mendasarkan aktifitas
tersebut dengan sebuah hadis Nabi yang artinya “sebaik-baik
kalian adalah yang belajar al-Quran dan mengajarkannya”.[1]
Pembelajaran al-Quran sendiri sudah berlangsung sejak zaman Nabi, baik dengan
sistem bandongan maupun sorogan. Dan seiring dengan perkembangan
Islam yang meluas ke berbagai penjuru dunia, pembelajaran al-Quran menghadapi
tantangan yang lebih kompleks terutama menghadapi mereka para umat Islam yang
bukan berasal dari bangsa Arab yang tentu saja belum mengenal bahasa arab.
Maka, muncullah kitab-kitab yang memudahkan mereka untuk bisa mahir membaca
al-Quran.
Kaitannya dengan hal ini, pesantren merupakan salah satu lembaga
yang berupaya menjaga dan melestarikan pembelajaran al-Quran sebagai sebuah
warisan agung dari Nabi. Diantara pesantren-pesantren tersebut, pondok
pesantren khusus waria Al-Fatah adalah
pondok pesantren yang masih konsisten melakukan pembelajaran al-Quran hingga
saat ini dengan para santri yang berstatus sebagai seorang waria.
Terdapat banyak hal menarik
yang peneliti temukan ketika melihat pembelajaran al quran di pesantren tersebut,
di antaranya yaitu: pertama, para santrinya yang berstatus sebagai waria
yang dengan kesadaran masing-masing masih menganggap penting sebuah
pembelajaran al-Quran. Kedua, waktu yang digunakan untuk kegiatan pembelajaran
al-Quran bukan setiap hari, melainkan hanya pada minggu sore mulai pukul 16.30
sampai masuk waktu maghrib. Ketiga, pemaknaan mereka terhadap al-Quran
itu sendiri yang menunjukkan bahwa seorang waria juga memiliki hak untuk
mengenyam pendidikan al-Quran. Berangkat dari beberapa poin yang telah
disebutkan diatas, peneliti tergerak untuk melakukan penelitian lebih lanjut
terkait pembelajaran al-Quran di pondok pesantren khusus waria Al-Fatah tersebut. Dengan harapan hasil
penelitian ini dapat bermanfaat bagi semua lapisan masyarakat pada umumnya, dan
masyarakat Islam pada khususnya.
B.
Rumusan Masalah
1)
Bagaimanakah
praktek pembelajaran al-Quran di pondok pesantren khusus waria Al-Fatah.
2)
Bagaimankah
makna yang terkandung dibalik pembelajaran al-Quran di pondok pesantren khusus
waria Al-Fatah.
C.
Kerangka Teori
Teori sosiologi pengetahuan Karl Mennheim menjadi menarik ketika
digunakan untuk melihat fenomena pembelajaran al-Quran di pondok pesantren
khusus waria Al-Fatah. Menurut Mennhein
tindakan manusia dibentuk oleh dua dimensi, perilaku (behavior) dan
makna (meaning).
Dari pendangan Mennheim tersebut, peneliti akan menggunakan teori
sosiologi pengetahuan untuk menganalisis kaitan antara makna dan praktik
pembelajaran al-Quran di pondok pesantren khusus waria Al-Fatah. Selain untuk menyibak makna
perilaku yang bersifat sosial, dengan teori sosiologi pengetahuan ini peneliti
juga akan mencoba untuk mengungkap makna personal dari pelaku pembelajaran
al-Quran di pondok pesantren khusus waria
Al-Fatah tersebut.
D.
Metode Dan Tehnik Pengumpulan Data
Jenis penelitia ini merupakan penelitian lapangan (field
reseach) yang menggunakan metode diskriptif kualitatif dengan pendekatan etnografi.
Etnografi merupakn pekerjaan mendeskripsikan kebudayaan.[2]
Jadi, pendekatan ini peneliti pilih untuk lebih mudah dalam menangkap dan
menemukan bagaimana pandangan dan pemaknaan para santri mengenai pembelajaran
al-Quran yang menjadi kegiatan rutin di pondok pesantren khusus waria Al-Fatah tersebut. Adapaun tehnik pengumpulan data yang peneliti pakai untuk
mendapatkan data-data terkait pembelajaran al-Quran di pondok pesantren khusus
waria Al-Fatah adalah dengan wawancara,
observasi, dan dokumentasi.
PEMBAHASAN
A.
Sejarah Berdirinya Pesantren Waria
Pesantren khusus waria pertama kali di rintis oleh Mariyani,
seorang waria yang tergugah untuk mendirikan sebuah pesantren khusus waria yang
ditujukan bagi para waria yang ingin mendekatkan diri kepada Allah. Pesantren
ini tidak memiliki gedung atau bangunan representatif seperti pada umumnya, kajian
keagamaan dilakukan di sebuah rumah kontrakan sederhana milik Mariyani di
Notoyudan, Pringgokusuman, Godongtengen, Yogyakarta. Mariyani terinspirasi
setelah sekian tahun mengikuti pengajian yang diampu oleh bapak KH. Hamrolie
Harun dan karena terilhami gempa Yogyakarta 2006 yang pada saat itu ia
mengundang para waria seluruh Indonesia untuk berdoa bersama. Pada tahun 2008
pesantren ini resmi dibuka dengan merekrut 22 santri waria.
Pada 21 Maret 2014, pendiri pondok pesantren waria, Mariani,
meninggal dunia. Hal ini menyebabkan pesantren vakum sementara waktu. Kemudian
pada tanggal 18 April pesantren kembali aktif sampai sekarang yang diketuai
oleh murid dari Mariyani, yaitu Shinta yang terletak di Celenan, Kotagede,
Yogyakarta. Mengenai dana yang digunakan untuk kelangsungan pesantren, baik
Mariyani maupun Shinta menggunakan uang dari hasil keringat mereka sendiri dan
dari para donatur. Saat ini jumlah waria yang nyantri sebanyak 35 dan terdapat
sekitar 6 ustadz yang mengajar.
B.
Praktek Pembelajaran al-Qur'an di Pesantren Waria
Berbeda dengan pesanren-pesantren pada umumnya yang melangsungkan
kegiatan belajar-mengajar setiap hari dengan intensitas waktu yang cukup
tinggi. Pembelajaran al-Quran di pondok
pesantren khusus waria Al-Fatah hanya diadakan sekali dalam semiggu, yaitu pada
hari minggu. Pembelajaran al-Quran tersebut dimulai pukul 16.30 WIB sampai
masuk waktu maghrib dan setelah itu dilanjutkan dengan diskusi terbuka sampai
masuk waktu isya’.
Disamping itu, para santri yang notebene para waria tersebut tidak
semuanya bermukim di pesantren. Hanya Bu Shinta sebagai pimpinan pesantren,
satu orang santri yang bertugas untuk memasak, dan satu santri yang bertugas
untuk bersih-bersih yang bermukim di pesantren. Selebihnya para santri tinggal
di luar pesantren sesuai dengan berbagai latar belakang sosial, pekerjaan,
maupun kepentingan mereka. Barulah ketika hari minggu sore mereka datang ke
pesantren untuk mengikuti kegiatan sebagai mana mestinya. Berikut adalah gambaran
kegiatan yang berlangsung setiap minggu dalam satu bulan:[3]
Minggu
Ke
|
Sesi I
|
Sesi II
|
Sesi III
|
Sesi IV
|
Keterangan
|
16.30 – 17.30
|
17.45 – 18.45
|
19.00 – 19.30
|
19.35 – 20.15
|
||
I
|
Iqra’ & Tadarus
|
Jamaah Maghrib, Dzikir, Shalawat Nariah.
|
Jamaah Isya, Diskusi, Pengumuman.
|
Tausiyah
Doa
|
Ustadz Murtijo
|
II
|
Iqra & Tadarus
|
Jamaah Maghrib, Dzikir, Asmaul Husna,
Istirahat.
|
Jamaah Isya, Diskusi, Pengumuman.
|
Tausiyah
Doa
|
|
III
|
Praktek
|
Jamaah Maghrib, Tahlil, Istirahat.
|
Jamaah Isya, Diskusi, Pengumuman.
|
Kupasan Transgender dalam Islam.
|
Team UNISNU Jepara
|
IV
|
Iqra’ & Tadarus
|
Jamaah maghrib, Dzikir, Shalawat Nariah.
|
Jamaah Isya, Diskusi, Pengumuman.
|
Tausiyah
Doa
|
1)
Gambaran
umum pembelajaran
Kegiatan rutin setiap minggu sore di pondok pesantren khusus waria Al-Fatah adalah mengaji al-Qur'an. Meski
demikian, tidak semua santri dari ketiga puluh lima santri pondok pesantren
khusus waria Al-Fatah tersebut bisa
mengikutinya. Sejauh pengamatan peneliti hanya sekitar lima sampai lima belas
santri yang ikut berpartisipasi dalam kegiatan tersebut. Terkait dengan
pembelajaran al-Qur'an, terdapat 6 tenaga pengajar tetap dan ada pula tenaga
pengajar suka rela dari UNISNU Jepara yang turut membantu setiap satu bulan
sekali.
Dalam kegiatan pembelajaran al-Quran di pondok pesantren khusus
waria Al-Fatah setidaknya dapat dibagi
menjadi dua kategori. Pertama, mereka yang belum mampu membaca al-Quran.
Untuk kategori ini, para waria belum menggunakan al-Quran sebagai objek bacaan
mereka secara langsung. Mereka masih menggunakan buku “iqra” sebagai objek
bacaan mereka. Dan dari keseluruhan santri, lebih banyak santri yang masuk
dalam kategori ini yaitu sekitar dua puluh tujuh (27) santri. Kedua, mereka
yang sudah mampu membaca al-Qur'an, sehingga mereka dapat langsung mengaji
al-Qur'an dan disimak oleh para ustadz. Untuk santri yang masuk dalam kategori
ini berjumlah sekitar delapan (8) santri. Dalam pembelajaran al-Qur'an ini
terdapat pula kartu evaluasi yang dimiliki oleh masing-masing santri sebagai
sarana untuk mengetahui seberapa progress para waria dalam belajar al-Quran.
Kualitas pembacaan al-Qur'an dapat dinilai dari dua kategori dasar,
yaitu makharijul huruf dan hukum bacaan (tajwid). Mengenai hal ini, para waria
masih dalam tahap belajar. Para waria membaca al-Qur'an semampu mereka di depan
masing-masing ustadz yang kemudian dibenarkan oleh ustadz ketika didapati
kesalahan atau kekurangan dalam makhraj dan hukum bacaan. Bahkan untuk para santri yang masih belajar
iqra, tidak jarang harus dituntun dan diingatkan ketika membaca materi-meteri
yang tertulis dalam kitab tersebut. Adapun mengenai nada dalam membaca
al-Qur'an, tidak ada nada khusus di pesantren waria ini.
Menurut analisis peneliti, para santri yang belajar al-Quran di pondok
pesantren khusus waria Al-Fatah lebih
mementingkan pada keberlangsungan pembelajarannya itu sendiri. Dalam artian
mereka tidak muluk-muluk ingin menjadi ahli dalam bidang al-Quran atau
semacamnya yang mengharuskan mereka belajar al-Quran secara lebih intens dan
dengan kadar yang lebih tinggi. Namun, peneliti juga melihat adanya persaingan
didalam proses pembelajaran al-Quran di sana. Hal ini terlihat ketika mereka
bertanya satu sama lain terkait halaman yang sudah mereka capai dari al-Quran
maupun iqra’ yang mereka baca tersebut. Atau persaingan itu akan terlihat lebih
jelas ketika salah satu diantara mereka seolah mengejek temannya yang halaman
bacaannya masih berada dibawah halaman bacaanya.
2)
Seputar
adab dan etika mengaji
Kegiatan belajar al-Qur'an dilaksanakan di beranda 'pesantren'
mulai pukul 16.30 hingga adzan maghrib. Terkait adab dan etika, secara
keseluruhan para santri waria memakai pakaian yang sopan ketika kegiatan
pembelajaran al-Quran berlangsung. Meskipun waria merupakan orang-orang yang
menganggap diri mereka seorang perempuan, ternyata ketika mereka dihadapakan
dengan ritual-ritual keagamaan seperti mengaji al-Quran dan shalat, mereka
tidak semuanya memakai pakain layaknya perempuan.
Secara garis besar pakaian yang digunakan para santri waria pondok
pesantren khusus waria Al-Fatah ketika
kegiatan pembelajaran al-Quran dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu pakaian
layaknya laki-laki dan pakaian layaknya perempuan. Mereka yang mengenakan
pakaian layaknya laki-laki bisa terlihat jelas dengan atribut-atribu yang
mereka pakai, seperti berbaju koko, sarung dan peci. Sedangkan mereka yang berpakaian
layaknya perempuan disimbolkan dengan atribut yang mereka pakai, seperti
mengenakan baju beserta celana panjang lengkap dengan kerudung dan ada juga
yang memakai daster (baju langsungan) lengkap dengan kerudungnya.
Selain itu, mereka juga
membaca al-Qur'an secara pelan-pelan, tidak meletakkan al-Qur'an secara
sembarangan, membawanya secara hati-hati serta menciumnya setelah selesai
membaca. Hal ini didasari oleh penghormatan mereka yang tinggi terhadap kitab
suci al-Qur'an, namun ketika mereka dihadapkan dengan buku Iqra' mereka
memperlakukannya secara biasa saja seperti memperlakukan buku pada umumnya.
Namun, perlakuan mereka terhadap para ustadz yang mengajar relatif
tidak ada perbedaan besar. Mereka sangat responsif, hormat, dan menghargai
terhadap setiap ucapan atau pembenaran para ustadz atas kesalahan-kesalahan
mereka ketika membaca al-Quran dan Iqra’. Penghormatan ini juga terlihat ketika
mereka bersalaman dengan para ustadz ketika usai membaca al-Quran dan Iqra’,
baik itu dengan mencium tanganya atau tidak.
Disamping kegiatan pembelajaran al-Quran, pesantren juga melakukan
kegiatan-kegiatan lainnya. Jika dilihat berdasarkan table diatas, akan dapat
ditemukan beberapa kegiatan lainnya seperti shalat maghrib dan isya’ secara
berjama’ah, pembacaan dzikir setelah shalat, pembacaaan shalawat, dan diskusi
bersama.
Kemudian ada beberapa agenda khusus yang dilakukan oleh pesantren
dalam tempo tahunan (kegiatan tahunan), adapun kegiatan-kegiatan tersebut
yaitu:[4]
1. Ziarah : kegiatan ziarah sudah berulang kali dilakukan oleh para santri waria semenjak
pesantren ini berdiri. Bentuk kegiatan ziarah ini yitu dengan berkunjung ke makam
para ulama, sunan, dan ke makam para
waria lainnya yang telah wafat. Kegiatan ziarah ini biasa berlangsung di Yogya
atau kota-kota lainnya.
2. Bakti Sosial : bakti sosial biasanya mereka laksanakan dalam rangka memperingati transgender
day ( hari transgender ). Bentuk kegaiatan yang mereka lakukan bervariasi,
dimulai dari pemberian sembako gratis, cukur rambut gratis dsb. Yang terpenting
esensi dari adanya baksos ialah pengabdian ke masyarakat. Tercatat sudah lebih
dari lima kali para santri waria melaksanakan kegiatan bakti sosial,
diantaranya ialah didaerah Stadion Maguwo, di Ponpes penanggulangan NAPZA
Cangkringan, dua kali didaerah Muntilan, didaerah Codek, dan di Panti Asuhan
Atap Langit.
3.
Bulan Ramadhan : bulan Ramadhan merupakan bulan yang
istimewa, tak terkecuali juga bagi para waria. Bulan ini pun nampaknya
mendapatkan perlakuan khusus di Pondok Pesantren Waria, kegiatan yang biasanya
dilakukan hanya seminggu sekali, namun didalam bulan Ramadhan ditambah menjadi
dua kali dalam seminggu. Kegiatannya pun ditambah menjadi lebih padat tidak
seperti bulan-bulan biasanya. Juga ketika dalam bulan ramadhan banyak para
santri yang bermukin di pesantren, tidak seperti biasanya yang ketika kegiatan
para santri harus ngelajo ke pesantren.
4. Syawalan : kegiatan syawalan yang biasa juga dikenal dengan istilah halal bi halal
juga mereka lakukan. Kegiatan ini layaknya acara halal bi halal yang telah
dikenal oleh masyarakat pada umumnya, yakni kegiatan saling memaafkan yang
dibungkus dengan pengajian.
5. Hari Raya Kurban : dalam rangka memperingati hari raya Idhul Adha
atau hari raya kurban, Ponpes Waria biasanya juga turut memeriahkan dengan
menyembelih hewan kurban. Hewan kurban biasa mereka dapatkan dari sumbangan
atau mungkin mengajukan proposal.
C.
Makna Pembelajaran al-Qur'an di Pesantren Waria
Kaitannya dengan makna pembelajaran al-Quran di pondok pesantren
khusus waria Al-Fatah peneliti memilih menggunakan teori sosiologi pengetahuan
Karl Mennheim. Menurut Mennhein tindakan manusia dibentuk oleh dua dimensi,
perilaku (behavior) dan makna (meaning). Oleh sebab itu, untuk
memahami fenomena sosial seorang peneliti harus mengkaji antar lain: perilaku
eksternal dan makna perilaku. Mennheim membagi makna perilaku menjadi tiga
macam makna, yaitu: Pertama, makna ekspresif, yang diatributkan oleh ti
ndakan aktor. Kedua, makna objektif yang ditentukan oleh konteks sosial
dimana tindakan itu berlagsung. Ketiga, makna dokumenter, yang
seringkali pelaku tersembunyi mengekspresikan aspek yang menunjuk pada
kebudayaan secara keseluruhan.[5]
1)
Makna
ekspresif.
Dalam kaitannya dengan makna ekspresif, disini peniliti mencoba
memberikan gambaran tentang ruang sosial dan latar historis dari beberapa
santri waria di pesantren waria Al-fatah. Dengan asumsi, peneliti akan lebih
mudah mendapatkan makna ekspresif dari masing-masing santri terhadap
pembelajaran al-Quran dan mengkonfirmasi apakah ruang sosial dan latar historis
tersebut memberikan pengaruh terhadap makna ekspresif yang coba peneliti
ungkap. Berikut beberapa santri yang akan peneliti paparkan secara singkat ruang
sosialnya:
a.
Shinta Ratri. Ia merupakan
waria asli Yogyakarta. Dalam stuktur kepengurungan pesanten waria, ia menjabat
sebagai pengasuh. Shinta termasuk waria yang dituawan baik dalam pesantren
maupun di luar pesantren, pasalnya selain aktif di pesantren ia juga menjabat
sebagai ketua IWAYO – Ikatan Waria Yogyakarta-.
Shinta termasuk
waria yang berpendidikan, terbukti jenjang pendidikannya tercatat hingga sampai
perguruan tinggi. Bahkan ia cukup banyak dikenal oleh para aktifis gender dan
feminis di Jogja. Sekarang ia bekerja sebagai wiraswata yang dalam bentuk usaha
kos-kosan di dearah Kotagede, selin itu ia jug aktif di LSM kebaya bersama
dengan teman-teman waria lainnya.
Shinta termasuk
waria yang dapat membaca al-Quran, dan dia adalah orang yang mengkoordinir
teman-teman warianya untuk kembali melanjutkan keberlangsungan pesantren pasca
vacumnya pesantren sebab meninggalnya Maryani. Menurutnya pesantren ini sangtlah
penting untuk mendorong spiritualitas teman-teman waria, pesantren adalah wadah
yang memberikan tempat bagi para waria untuk dipandang sebagai manusia pada
umumnya. Disamping itu, ia merasa kasihan terhadap teman—teman waria jika
pesantren harus berhenti total hanya
karena meninggalnya Maryani. Selanjutnya,dengan adanya pembelajaran al-Quran ia
memaknainya sebagai sarana ibadah untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah.
b.
Bunda Yeti. Waria yang
sering dipanggil “Bunda” ini berasal dari Medan. Kemudian ketika masuk jenjeng
SMA ia pindah ke Jogja, tepatnya di SMA Muhammadiyah II Yogyakarta. Ia juga
termasuk waria yang dituakan, sebab umurnya yang sudah melebihi 50 tahun.
Bunda sudah
banyak menjajal berbagai macam pekerjaan, mulai dari berdagang, pelayan hotel,
di koperasi simpan pinjam, bahkan ia juga pernah berkecimpung dalam pekerjaan
dunia malam, dan sekarang ia bekerja di LSM kebaya bersama Shinta.
Bunda juga
salah satu waria yang sudah mampu membaca al-Quran. Ia juga sangat senang
dengan adanya pesantren waria ini, sebab disini ia merasa nyaman dan diterima sebagaimana
manusia pada umumnya. Menurut pengakuannya, dulu ketika ia belum bergabung ke
pesantren dan masih berkecimpung dalam dunia “selebriti” sedikit pun tidak
pernah buka al-Quran, tidak pernah membacanya, shalat pun tidak. Bahkan ketika mau shalat,
banyak orang-orang yang merasa risi dan tidak nyaman ketika satu shaf
dengannya.[6]
Maka, dengan hadirnya pesantren waria ia mersa senang dan nyaman ketika
malakukan ibadah. Kaitannya dengan pembelajaran al-Quran, ia memaknainya dengan
kebutuhan spiritual yang harus dilakukan
oleh setiap muslim. Bahkan diantara teman-teman waria lainya, Bunda-lah yang
paling jauh halaman bacaanya, ini menunjukkan bahwa ia memang sungguh-sungguh
dan tekun dalam manjalankan pembelajaran al-Quran.
c.
Yuni Shara Al-Buchory. Biasa
dipanggil dengan sebutan YS, dan merupakan waria asli Yogyakarta. Ia mengaku
sudah merasakan gejala-gejala waria sejak dari SD, ia juga menolak teori yang
mengatakan bahwa waria disebabkan oleh faktor lingkungan. Menurutnya waria itu
adalah bawaan lahir, buktinya sejak ia kecil meski banyak temanya yang
laki-laki tapi ia tidak nyaman bermain dengan mereka dan memainkan permainan
mereka. Ia lebih nyaman bermain dengan perempuan dan dengan permainan mereka.
Ketika ditanya
masalah pekerjaan, ia hanya menjawab “independen” dengan malu-malu.[7] Ia
juga mengaku pernah belajar “Iqra” waktu masih kecil, namun ketika menginjak
remaja dan sudah bekerja ia tidak pernah lagi membacanya sehingga lupa.
YS sendiri masih belum mampu membaca
al-Quran, ia masih tergolong santri yang masih belajar Iqra’. Kemudian
kaitannya dengan pembelajaran al-Quran di pesantren waria, ia merasa sangat
senang sekali. Ia memaknainya sebagai sarana pembelajaran, melancarkan bacaan,
menambah pengetahuan, dan mengingatkan akan masa kecilnya dulu mengingat ia
telah lama lupa materi-materi yang diajarkan pada masa kecilnya dan telah lama
tidak mengaji.
Berdasarkan ruang sosial, latar historis, dan makna ekpresif dari
masing-masing santri yang peneliti paparkan diatas, dapat disimpulkan bahwa
ternyata ruang sosial dan latar historis yang melingkupi mereka memberikan
pengaruh terhadap pemaknaan yang mereka tangkap terkait dengan pembelajaran
al-Quran. Pengaruh tersebut terlihat ketika mereka mencoba menjelaskan terhadap
pemaknaan mereka terhadap al-Quran itu sendiri, sehingga makna ekspresif yang
diperoleh pun menjadi variatif sesuai dengan ruang sosial dan latar historis
dari masing-masing santri.
2)
Makna
objektif.
Setelah mepaparkan makna ekspresif dari masing-masing –sampel-
santri, kemudian peneliti mencoba mengungkap makna objektif dari praktek
pembelajaran al-Quran tersebut. Berbeda dengan makna ekpresif yang akan
menemukan variasi pemaknaan didalamnya, makna objektif harus mampu mengkaver
semua variasi pemaknaan mereka dalam satu pemaknaan yang objektif.
Ketika makna itu dipaparkan oleh santri secara umum, pimpinan
pesantren, dan para ustadz yang mengajar, kesemuanya dapat menunjukkan pada
satu makna objektif yang sama, yaitu melihat pembelajaran al-Quran di pesantren
tersebut sebagai sebuah kebutuhan spiritual yang harus mereka penuhi sebagai
sarana mendekatkan diri kepada Allah. Sehingga menjadi sebuah kebiasaan amaliah
yang menunjukkan karakter jiwa para santri waria di pondok pesantren Al-Fatah tersebut.
3)
Makna
Dokumenter.
Makna dokumenter dari pembelajaran al-Quran di pondok pesantren
Al-Fatah ini dapat diperoleh dari penelitian yang mendalam, karena makna dokumenter
itu sendiri adalah makna yang tersirat dan tersembunyi. Yang secara tidak disadari
bahwa dari praktek pembelajaran al-Quran di pondok pesantren Al-Fatah ini bisa
menjadi suatu kebudayaan yang menyeluruh.
Karena merupakan makna yang tersirat dan tersembunyi yang bahkan
terkadang tidak disadari oleh para pelaku, makna dokumenter bisa saja berbeda
antara peneliti satu dengan peneliti yang lain dalam satu kasus yang sama. Atau
dari satu peneliti menemukan lebih dari satu makna dokumenter dalam satu kasus.
Sejauh pengetahuan peneliti, pondok pesantren waria Al-Fatah adalah
satu-satunya pesantren waria di dunia. Adapun pembelajaran al-Quran yang
menjadi kegiatan rutin di pesantren ini dengan pengumpulkan waria dalam suatu
majlis untuk mengaji al-Quran secara tidak langsung juga menjadi satu-satunya
di dunia. Karena satu-satunya di dunia, makna documenter yang bisa peneliti
tawarkan ialah bahwa pembelajaran al-Quran seperti ini menjadi sebuah fenomena
(tren) baru dalam strategi pembelajaran
al-Quran kepada para waria.
Karena sangat sulit ditemukan –atau mungkin tidak ada— dari
berbagai macam komunitas waria yang menadakan pembelajaran al-Quran khususnya
waria yang beragama Islam. Komunitas-komunitas tersebut kebanyakan hanya
mengumpulkan para waria untuk menyuarakan hak-hak gender mereka terhadap
masyarakat yang selama ini memandang sebelah mata kepada para waria. Namun,
secara tidak langsung sisi spiritualitas mereka terabaikan. Sehingga dengan
adanya pembelajaran al-Quran di pesantren waria ini semoga menjadikan pancingan
kepada para waria lainnya untuk memuaskan hasrat spiritualitasnya lewat
komunitas-komunitas semacam pondok pesantren waria Al-Fatah ini.[8]
D.
Kesimpulan
1)
Pembelajaran
al-Quran di pondok pesantren khusus waria Al-Fatah hanya diadakan sekali dalam
semiggu, yaitu pada hari minggu. Pembelajaran al-Quran tersebut dimulai pukul 16.30
WIB sampai masuk waktu maghrib. Santri yang belum mampu membaca al-Quran
diharuskan belajar Iqra’ terlebih dahulu, sedangkan santri yang sudah mampu
membaca al-Quran bisa langsung membaca al-Quran dengan cara menyimakkannya pada
para ustadz. Terkait masalah adab, para santri bersikap baik dan sopan terutama
kepada para ustadz. Sedangkan pakaian yang mereka pakai ketika mengaji adalah
pakaian yang sopan, baik itu berupa pakain laki-laki ataupun pakain perempuan.
2)
Berdasarkan
teori sosiologi pengetahuan Karl Mannheim ditemukan tiga macam makna yang
terkandung dalam prektek pembelajaran al-Quran di pondok pesantren Al-Fatah,
yaitu: Pertama, makna ekpresif: peneliti mencatat bahwa dengan
pembelajaran al-Quran tersebut menunjukkan bermacam-macam makna praktis sebagai
sebuah pembelajaran, melancarkan bacaan, menambah pengetahuan dan kecerdasan,
kebutuhan spiritual, dan sebagai ibadah. Perbedaan itu ternyata dipengaruhi
oleh ruang sosial dan latar historis dari masing-masing pelaku.
Kedua, makna
objektif: dari pembelajaran al-Quran di
pesantren tersebut adalah kebutuhan
spiritual dari para santri yang harus dipenuhi sebagia seorang muslim.
Ketiga, makna dokumenter: dengan
adanya prektek pembelajaran al-Quran di pondok pesantren Al-Fatah tersebut bisa
menjadi suatu fenomena (tren) baru dalam strategi pembelajaran al-Quran kepada para waria.
.
[1] Imam Al-Bukhari, al-Shahih al-Bukhari,
no. 4639, dalam CD Lidwa Pustaka I-Softwere.
[2] James P.
Spradley, Metode Etnografi, trj. Misbah Zulfa Elizabeth, (Yogyakarta: PT
Tiara Wacana, 1970), hlm.3.
[3] Berdasarkan
jadwal kegiatan mingguan yang terpajang di pesantren waria.
[4] Berdasarkan
wawancara dengan Bu Shinta selakuku pembina pesantren dan dokumentasi pesanten
berupa foto-foto.
[5] James P.
Spradley, Metode Etnografi, trj. Misbah Zulfa Elizabeth, (Yogyakarta: PT
Tiara Wacana, 1970), hlm.3
[6] Bunda
merupakan salah satu waria yang ketika melakukan ibadah, saperti shalat dan
membaca al-Quran berpenampilan (berpakaian) layaknya seorang laki-laki. Namun
ketika diluar itu ia berpenampilan layaknya seorang perempuan.
[7] Bahkan ketika
peneliti sedang mewawancarainya, ada dari teman pria yang menelponnya. Entah membicarakan apa,
karena waktu itu YS minta izin untuk mengangkat telpon sambil mojok menjauh
dari majlis.
[8] Diantara bukti
bahwa pesantren ini satu-satunya ialah banyak peneliti dari luar negeri yang
berdatangan ke Jogja hanya untuk meriset pesantren ini. Kemudian, pengakuan
dari teman peneliti yang juga meneliti pesantren ini (tentang politik kaum
marjinal) dan telah mempresentasikannya
di Turki dalam acara seminar internasional cukup mencengangkan para peserta
lainnya. Ia mengatakan bahwa pesantren ini memanglah satu-satunya, bahkan dari
pihak Turki merasa ingin meniru apa yang telah dimulai pesantren waria Al-Fatah
mengingat cukup banyak penduduknya yang berstatus waria.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar