Hujan di bulan januari memanglah sebuah pelengkap untuk memperindah
cuaca pada waktu itu, seperti halnya saat ini.Langit tanpak pucat sesekali.Hujan
begitu bersemangat menyapa setiap makhluk yang ada dibawahnya penuh keriuhan,
meski tidak terlalu deras nyatanya, cukup membuat pepohonan, lorong-lorong
jalan, dan semuanya tak terkecuali aku yang terpaksa basah
dibuatnya.Dipadu dengan suara guntur yang membahana semakin mendukung atmosfir
suasana malam ini.
Konsekuensinya, acara ngaji seni malam ini ditunda untuk beberapa saat.Banyak penonton yang
bersembunyi di angkringan-angkringan
yang tersebar di sekitar alkid(alun-alun kidul) Yogyakarta.Aku memilih
angkringan di sudut paling pojok alkid.Tak menunggu waktu lama aku langsung memesan
secangkir kopi dengan maksud menghangatkan diriku yang mulai menggigil
kedinginan.Kusruput berlahan-lahan minuman cairan itu sambil menikmati kolase
hujan yang semakin ramai mendayu.
Tanpa disadari mataku memejam semakin hanyut dalam alunan musik
alam, ketika sekelompok gadis tiba-tiba masuk ke angkringan memecah keheninganku.Mereka ada sekitar lima orang, semuanya cewek.Dilihat dari
pakaian mereka, terlihat jelas mereka terlambat menyelamatkan diri dari guyuran
air hujan.Air terlihat merembes ke pori-pori pakain mereka. Dan sepertinya
mereka bukanlah orang asli jogja, menurut pengamatan sekilasku dari tekstur
wajah dan pakaian mereka.Disini naluri ingin tahuku kembali membuncah. Kuberanikan
diri bertanya kepada mereka.
“ehm ehm, maaf permisi. mbak-mbak kelihatannya bukan asli jogja ya
?” kubuka pembicaraan dengan ekspresi sebiasa mungkin, sedari agak
menyondongkan kepalaku ke arah mereka.Beberapa detik tak terdengar suara,
hingga akhirnya.
“Ow iya mas.Kami dari Malang. lagi liburan kuliah, sengaja mau
lihat acara ngaji seni” jawab salah seorang yang paling dekat denganku, dengan suara lembut
dan sedikit senyum yang terbit di wajahnya.
“Emm…” tandaku meng-iya-kan. “Dari Malang
to, perkenalkan aku Irvan Golziher asli jogja. Panggil aja Irvan, gak peke mas
ya, hhe”. Aku
mencoba akrab, meski aku yakin mimik wajahku entah
bagaimana tergambarkannya.Belum sempat aku menghela nafas, ada
hal yang memaksaku memelototkan mata.Sebuah kalung salib melingkari
lehernya.Dari kalung itu aku memahami satu hal, dia berbeda keyakinan denganku.
“Mas irvan, eh irvan…. bisa aja” ada sedikit
parau di nada suaranya. “Aku Maria Debby, Debby aja manggilnya juga gak pake mbak lho !”.Lagi-lagi lesungnya
muncul ke permukaan begitu ringan.
Entah sudah berapa lama kami hanyut dalam obrolan,
sampai tak menyadari kalau hujan di luar sana sudah mulai mereda.Para calon penonton
yang lain juga mulai keluar dari bilik-bilik angkringan, berduyun-duyun menuju
depan panggung. “Acara akan segera dimulai” terdengar suara dari corong
mikrofon menggema.Debby’s group melenggang meninggalkan aku dan bapak tua
pemilik angkringan, setelah sebelumnya mereka berpamitan.Aku masih bertahan, duduk
bersila diatas kursi kayu tua yang mungkin usianya setua bapak pemilik
angkringan, yang sedang asik memainkan asap rokok di kursi tahtanya.Kuteguk
tetes terakhir kopi, sedari menyaksikan langkah kepergian Debby yang semakin
hilang tertelan lautan manusia di depan sana.
Ada sedikit desiran aneh, yang tiba-tiba
menyergapku.Tepat di hati.Bercampur kekecewaan, entah mengapa.Aku tak begitu
yakin, tapi aku benar-benar merasakannya.Tak bisa dibohongi. “Apakah ini ada
hubungannya dengan pertemuanku dengan Debby barusan ?” hatiku mulai menelisik.Tapi,
bukankah sudah biasa aku bertemu dengan orang asing lalu berkenalan.Aku mencoba
membantah sisi hatiku yang berdesir.Namun, ketika sisi hatiku yang lain berbisik
“Tenanglah” hatiku yang berdesir mulai tenang dan terkontrol lagi.Dan aku entah
mengapa, tersenyum dalam diam.
*****
“M-a-s, mas......” samar-samar kudengar suara
memanggilku, “Mas.. mas...”terdengar lagi, lebih jelas.Kali ini kurasakan
beberapa tepukan tangan mendarat di pundakku. “Maaf mas, tiketnya ?” dengan
setengah sadar kurogoh saku belakang celana, mengikhlaskan jari-jemariku
bergerilya disana.Sejurus kemudian, tanganku mulai terangkat dengan secarik
kertas dalam genggamannya.Setelahnya, kubiarkan orang didepanku –persisnya, aku
tak tahu dia laki-laki atau perempuan- melakukan tugasnya.
“Wah mas, tidurnya enak bangetnya? kok sambil
senyum-senyum gitu?” suara itu datang lagi,
halus kedengarannya. Dengan bantuan kedua tanganku yang telah menjelma menjadi lap di mataku, kupaksakan diri sadar sepenuhnya. Terlihat seorang ibu
tersenyum sembari mengembalikan secarik kertas yang kuberikan padaanya tadi.
“Maaf bu ?” tanyaku balik diiringi tiga kerutan di dahi, karena aku kurang
begitu yakin dengan apa yang terlontar dari mulutnya beberapa detik yang lalu. Ibu
itu mengulang pertanyaannya lengkap dengan senyumnya. “Ow.....” agak panjang
aku mengucapkannya, sekaligus menyembunyikan kuapku ditengah-tengah dua huruf
tersebut. “Gak papa kok buk, Cuma mimpi”. Dengan
dukung sedikit senyum yang agak dipaksakan, aku langsung berspekulasi dengan kata-kata. Dan ibu itu berlalu, lagi-lagi
lengkap dengan senyumnya.
Cuma mimpi.bukan, itu bukan hanya sekedar
mimpi. Itu mimpi tentang awal perjumpaan kita satu tahun silam.Dan itu bukan
hanya sekedar mimpi. Aku tahu itu. Aku pikir ini adalah sebuah pertanda. Sekarang
takdir menuntunku ke Malang. Aku mendapat undangan dari teman-teman “SUARA KATA” untuk membacakan antologi puisi di salah satu kampus disana.
Kulepas jaket yang membungkusku, kutidurkan ia
disudut sana dekat dengan Sandi. Aku berdiri memandangi sekitar. Kakiku
menarikku ke pintu gerbong kereta, aku hanya pasrah. Satu, dua, tiga batang
rokok hinggap dimulutku begitu saja, aku hanya bisa menyambutnya tanpa kata.
Kuhisap, dalam sekali. Lalu kumuntahkan dengan indahnya di udara. Aku masih
disana. Di pintu gerbong, menikmati belaian angin di wajahku.Meresapi begitu
cantiknya lukisan Tuhan, menggoda.Ketika tiba-tiba gambaran sosok itu muncul di
angkasa. Membiusku beberapa saat, hingga kedipanku
mengaburkannya kembali. Debby.
Suasana kereta cukup padat, maklumlah kelas ekonomi. Cocok buat mahasiswa seperti aku, hehe. Para
pengasong berlomba-lomba menawarkan barang dagangannya. Mulai dari nasi
bungkus, gorengan, berbagai minuman, ada juga yang menjual peralatan memasak,
hingga menawarkan jasa pijit.Disudut gerbong sana, terdengar suara jerit bayi
begitu melengking terdengar.Sepertinya tidur siangnya terusik oleh suara-suara
yang bersimpang siur disekitarnya. Ibunya terlihat kerepotan menenangkannya,
dikipas-kipasnya bayi itu dengan koran bekas bungkus nasi, sambil
menimang-nimangnya pelan.Bayi itu mulai mengatupkan mulutnya, matanya melemas
hingga akhirnya terpejam dalam pelukan ibunya.
Di kursi depan sana, ada seorang kakek yang
tengah tertidur pulas.Disamping bawahnya, seorang bocah sekitar 8tahunan
memijit kaki kering kakek tersebut.Sebegitu nikmatnya, sampai-sampai mulut
kakek itu menganga lebar bagai meminta makanan. Bocah itu, mendongakkan
kepalanya sesekali. Mungkin ingin memastikan kakek itu belum mati, sebelum
membayar jasa pijitnya. Aku hanya bisa tertawa dalam hati.
Semakin kereta melaju, semakin banyak stasiun
terlewati. Semakin banyak stasiun yang dilewati, semakin banyak pula penumpang
yang turun. Dan semakin berkurang penumpang, begitu juga pengasong semakin
sepi. Kulemparkan pandangan ke penjuru gerbong,
sudah tak kutemukan Ibu penggendong bayi dan kakek tua yang sembari tadi kuamati. Entah kemana mereka pergi, biarlah. Kereta terus melaju
gagah menerobos belukar, suaranya yang berwibawa membuat para burung terbang
gemetaran.Sedangkan aku, duduk sendiri disini.Bersama sepi.
Disaat seperti ini, naluri menulisku tak
tertahan lagi. Ya, saat sepi seperti ini. Puisi adalah obat terbaik unukku, disaat
tak ada siapa-siapa. Kecuali aku dan Sandi—gitar peniggalan almarhum ayah—.Aku
tak tahu, aku menulis untuk apa ataupun untuk siapa.Yang jelas waktu menulis,
aku merasakan ada sesuatu yang telah sekian lama hilang dapat kembali hadir
dalam jiwaku. Entah apa itu, kehadirannya selalu dapat membangkitkan seluruh
emosi yang terlelap beku. Tanpa puisi, aku tak tahu apakah aku masih bisa bertahan sampai sekarang. Puisi bagaikan ayah,
yang selalu menghargaiku seperti halnya aku menghargainya.
Tak seperti biasanya. Jika biasanya aku
menulis puisi tak tahu untuk apa ataupun untuk siapa. Namun, kali ini. Ketika
sosok itu tiba-tiba berkelebat dipikiranku. Seolah, aku menemukan alasan untuk
apa dan untuk siapa aku menulis. “Benarkah ini alasannya?” bingung aku menerka
jawaban dari pertanyaanku sendiri.Cukup lama aku melukiskannya diatas kertas.
Bukan karena aku menemukan kesulitan, Tapi karena aku menikmatinya begitu saja.
Selalu saja seperti ini. Waktu selayak terhenti jika aku menikmati sesuatu,
apapun itu.
Akhirnya, sampailah aku di stasiun Singosari. Tepat pukul 16.00 wib. Suasana tak kalah ramainya dengan Lempuyangan di
Jogja. Bisa-bisa aku kebingungan mencari jalan, jika Anton -teman suara kata- tidak menjemputku kala itu. Dia agak gemuk, bisa juga dibilang gemuk jika dibandingkan dengan tubuhku yang memang terbilang
tidak begitu gemuk.Dan dia agak sedikit humoris sepertinya. Setelah
berbincang sepatah dua patah kata, kami langsung menuju kampus tempat
diselenggarakannya acara. Anton menggondolku dengan motor vespanya. “Preketek
ketek ketek.......” suaranya meraum, membuat setiap mata memandangnya risi.Hahaha.
*****
“Universitas Kristen Malang” begitulah tulisan
yang menggelantung di gerbang pintu masuk kampus. Sempat membuatku berhenti
bernafas sebentar ketika membacanya.Vespa terus melaju menyusuri jalanan
kampus, terlihat banyak bangunan tertanam rapi di area kampus, taman-taman
tersebar di berbagai penjuru, pepohonan menambah nuansa sejuk dalam kampus,
bahkan tak terlihat sampah satu pun terlihat. “Mas irvan, udah sampai mas” suara
Anton yang besar memecahkan sekaligus
menghentikan pengamatanku “mungkin kita langsung shalat dulu aja mas, biar
sekalian” tawarnya padaku, sembari
melangkahkan kaki ke suatu ruangan. “Oke oke, biar sekalian mumpung udah maghrib ton” jawabku sekenanya sambil mengikuti derap langkahnya.
Seusai shalat, aku diantar menuju suatu
ruangan tempat dimana para anggota suara kata yang lain berada. Sekitar 10x15 meter
kira-kira luas ruangan itu. Para anggota yang lebih dahulu sampai disana
menyambut kedatanganku, dengan Anton tentunya. “woyy, welcome welcome.....
selamat datang bro” sahut Mas Rio sambil menjabat tanganku, dialah dalang dari pelaksanaan acara pentas kali ini. “wah udah rame nih mas, aku ketinggalan.
hhe” jawabku tak kalah hebohnya, sambil malambaikan tangan ke penjuru ruangan.Tak lupa dengan senyum ala ibu pemeriksa
karcis tadi siang.Kupilih satu tempat vavoritku untuk merebahkan lelah ini,
pojok.Langsung saja tanpa memesan, satu gelas kopi datang dengan sendirinya.
Sambil menyeruput, kuamati para anggota yang lainnya.Disini aku merasakan
Indonesia. Ruangan ini layaknya sebuah miniatur Indonesia.Aku berani bertaruh, mereka
pasti dari berbagai suku, etnis, daerah, budaya, agama yang berbeda.Acara ini
memang bertemakan Pluralitas Dalam Berseni .Bukan hanya itu, aku
merasakan kebersamaan yang teramat jujur disisni.Semuanya melebur, mencair, dan
menyatu.
Mata ini akhirnya mulai berat, segera kubawa
kembali ke ruangan.Kutidurkan ia bersama aku.Setelah sebelumnya , memanjakannya
dengan udara malam.
*****
“Van van van, bangun ! subuhan” terasa kakiku
di goyang-goyangkan. Langsung saja aku terbangun kalap, kaki adalah kelemahanku
saat tidur. Mas Rio sudah rapi berhiaskan peci dan sarung yang dibutnya switer
di leher.Aku sedikit tersenyum kecil, ada kesan iri dan lucu melihatnya.Shalat
kali ini agak lebih banyak jamaahnya, tak seperti semalam ketika aku shalat
hanya berdua dengan Anton.Kami yang sudah bangun lebih dulu, membangunkan teman-teman
yang lain yang belum bangun.Setelah semuanya terbangun, mandi dan tetek bengek
yang lain termasuk makan pagi adalah hal yang kudu dijalani.Akan ada rapat untuk
pelaksanaan pentas nanti malam, semuanya diharap hadir, baik cowok maupun
cewek.
Hari masih terbilang pagi ketika rapat tengah
berlangsung. Kicau burung bersautan disana sini.Sinar mentari menerobos melalui
sela-sela dahan membentuk garis-garis vertikal.Terlihat para pekerja menyapu
dedaunan yang berjatuhan, tercecer secara alami.Suasana rapat sungguh efisien,
disamping memang waktunya yang tepat ditambah perut kami yang telah terisi oleh
berbagai masakan khas kota Malang. Rapat berlangsung sekadarnya, tak begitu
lama.Acara memang sudah terkonsep dan tersistem dengan baik, rapat ini hanya
untuk menge-fix kannya saja.
“Van,
sini!” terdengar sebuah teriakan memanggilku, singkat tapi jelas.Ku putar
pandanganku mencari sumber suara.Terlihat di pojok ruangan Mas Rio melambaikan
tangan dan seorang perempuan entah siapa. Aku teringat, Mas Rio ingin memperkenalkanku dengan seorang
temannya, dari Malang juga katanya. Aku cukup mengacungkan ibu jari keatas,
tanda mengiyakan.
Sejurus kemudian, langkahku sudah menapak
mendekati mereka berdua.Namun, belum sempat aku sampai, perempuan itu terlihat
berbisik ke Mas Rio sembari berlalu merekatlan handphone ke telinganya.”Seperti
tak asing” aku tertegun dalam hati.
“Bentar van, dia lagi ngangkat telfon dari
sponsor, sabar. hehe” sambarannya cepat, begitu jarak kami sekitar setengah
meter dekatnya.
“Wah, perempuan karir nih ceritanya ?” aku mencoba mengompori Mas Rio, dan berhasil.
“Dengerin ya van, dia itu temen seperjuanganku
di Malang. Dia suka banget yang berbau seni, persis kayak kamu.Berbagai alat
musik sudah menjadi makan sehari-hari buatnya.Pokoknya kalo lihat dia, aku jadi
inget sama kamu.Kalo lihat kamu, ya jadinya inget dia gitu.Aku gak sabar ingin
ngenalin ke kamu. Namanya tu.....”
“Hey....” belum sempat Mas Rio menyelesaikan
penjelasan super hebohnya itu, kami berdua dibuat kaget.
“Irvan? ini irvan kan....” kutolehkan wajahku ke asal suara.Begitu terkejutnya aku ketika
kutemukan sesosok yang memang tak asing lagi bagiku, sosok yang selalu
menerobos masuk ke dalam mimpiku, sosok yang selalu tergambar ketika aku
meneropong awan, sosok yang memiliki lesung indah ketika tersenyum, aku tak
mungkin lupa. “Ge- Gebby ?” agak tertahan aku mengucapkannya.
*****
Hari berlalu tak terasa.Malam pun tiba.Garis-garis
cahaya menyilang kesana-kemari, sesekali menyorot wajah penonton yang sudah
mendesaki areal taman kampus.Malam ini
semuanya dimanjakan dengan berbagai penampilan seni ank-anak suara kata.Drama,
teater, musikalisasi puisi, pembacaan puisi, perang pantun, dan masih banyak
seabrek penampilan-penampilan yang disuguhkan.Tanpa disangka, aku yang
ditugaskan untuk membacakan antologi puisi, harus berkolabolasi dengan teman
karirnya, siapa lagi kalau bukan dia.Debby.Tentu saja itu ide Mas Rio.Pada
awalnya ada rasa canggung menyergap tatkala naik ke atas panggung, namun
setelah melihat Debby yang kelihatannya begitu menikmati kolaborasi ini,
kulepaskan jiwaku, membiarkannya menari, membebaskannya bernyayi.Hingga ledakan
tepuk tangan mengepung penampilan kami berdua malam itu.Aku dan Gebby.
Dibandingkan penampilanku malam ini,
sebenarnaya ada hal yang lebih penting dari semuanya.Bahkan lebih penting
daripada maksud ke datanganku ke Malang kali ini.Aku ingin memberitahukannya
pada seseorang sekarang, sejujurnya.Bukan, bukan sekarang.Tapi sejak pertama
kita bertemu, layaknya malam ini.Meski dalam dimensi yang berbeda.Aku tak melihatmu lagi sejak turun dari panggung,
beberapa saat lalu. “mungkin lagi bantu penampilan temen-temen selanjutnya”
pikirku mencoba sepositif mungkin.
“Wah keren van, keren. penampilanmu oke banget dah !!!” siapa lagi kalau
bukan Anton, sembari mengangkat kedua ibu jari tangannya ke udara. Kuhampiri
Anton, duduk pada kursi kosong di sebelahnya. “makasih... penampilan pantonimmu
tadi juga gak kalah spektakulernya lho, penonton sampai kau buat
terpingkal-pingkal, hha” kuimbangi pujiannya padaku. Dia jadi terlihat salting ,
ya benar salting ala orang gemuk
maksudku.
******
Balekambang, disinilah kami berada sekarang.
Sebuah pantai yang terletak di pinggiran pesisir kota Malang, merupakan tempat
yang tepat untuk merayakan kesuksesan acara kami semalam.Tempat yang tepat
untuk melenyapkan semua lelah yang menggantungi diri.Turun dari bus, semua
menyebar menyerbu ke segala penjuru pantai.Berenang, perang pasir, berfoto ria,
saling menimbun dengan pasir, atau hanya berjalan menyisiri di garis
pantai.Intinya semuanya senang tanpa kecuali, gelak tawa yang melangit semakin
memperindah Balekambang sore ini.
Cukup jelas disana,ketika aku melihat
sekrumunan orang mencoba menceburkan Anton ke dalam air. Anton yang meronta-ronta
liar, mereka begitu terlihat kuwalahan menjinakkannya.Namun tetap saja 10 lidi
lebih kuat daripada 1 lidi, mungkin itu pepatah yang tepat untuk menggambarkan
kekalahan Anton sore itu.Dia berakhir tragis, basah dari ujung rambut sampai
pangkal kaki.Meskipun begitu, dia belum terlihat menyerah.Ditariknya siapa saja
sekenanya, tiga orang berhasil dipaksa menemani kebasahannya. 1 lawan 3, angka
yang cukup fantastis untuk orang seukuran Anton. Yang lain, hanya bisa
tertawa lepas menyaksikan adegan itu.Tak terkecuali aku, yang sedang duduk
sendiri menikmati alam yang polos ini.Tapi tunggu sebentar......
Di pura sana kulihat seseorang sedang berdiri
sendiri, meletakkan kedua tangannya diatas
pagar kayu menghadapkan wajahnya ke laut lepas, membelakangiku.Cukup jauh
jaraknya dari tempatku sekarang, namun aku tahu siapa orang itu.Jangankan
sejarak ini, sejauh manapun aku tetap bisa melihat wajahnya.Meski tanpa
bertemu.Wajahnya selalu hadir disaat aku memikirkannya, bahkan wajah itu hadir
dengan sendirinya mengingatkanku untuk memikirkannya.Desir itu muncul lagi,
desir di hati ketika awal kita bertemu 1 tahun silam. Desir itu menuntun
langkahku kepadanya.Aku tak bisa lagi berfikir kali ini, hanya mampu mengikuti
kemana desir ini menuntunku melangkah.
Sekitar satu meter jarak kami sekarang,
kupandangi dirinya dari samping.Rambut hitamnya terkulai indah melambai diterpa
angin pantai.Kedua telapak tangannya saling memeluk satu sama lain.Ada sedikit
warna merah jambu merekah di pipinya.Bagaimana mungki kakinya kuasa menopang
keindahan seperti ini, pikirku.Dalam lindungan kaca mata minusnya, matanya
masih tertidur pulas sekali.Meski aku yakin otaknya sedang memikirkan sesuatu,
entah apa.Dia tidak merasakan kehadiranku.Hingga sedikit demi sedikit mata itu
terbangun, mengajak wajahnya menoleh ke arahku.Kedua mata kami menemukan objek
yang tak bisa ditolak antara keduanya.Dan desir ini semakin membuncah, tak
terbendung lagi. Wajahnya kembali ke
posisinya semula meninggalkan senyuman tipis di mataku. Kudekati sosok itu,
tepat disampingnya. Mencoba menyamakan posisi dengannya.Belum ada sepatah kata
pun yang muncul dari kedua mulut kami. Mungkin
tak perlu ada kata-kata yang keluar kali ini,
cukup seperti ini. Tenang.
Namun, desir ini kembali menerobos ke ulu hati.Mencoba mengingatkanku akan sesuatu. Ya, benar. Puisi
itu, puisi yang kuciptakan di kereta bersama sandi.Puisi pertamaku dimana cinta
adalah jawaban untuk apa aku menulis dan
kau adalah tujuan untuk siapa aku
menulis.Puisi yang mengandung sosokmu, karena hadirmu dalam setiap goresannya.Inilah
waktu untuk mengutarakanya.
Kertas itu masih terlipat rapi di saku bajuku,
kertas yang memuat puisi itu.Tanganku mencoba meraihnya, ada sedikit getaran
mengiringi geraknya.Kuelus kertas itu, cukup sekali.Untuk memastikan perasaanku
di dalamnya.Kuserahkan berlahan ke sosok disampingku, diterimanya kertas itu
dengan jari telunjuk dan tengahnya.Wajahnya beralih ke arahku penuh tanya,
masih tanpa kata.Aku tersenyum menjawab
tanyanya, kini wajahnya telah beralaih ke kertas itu.Dia buka lipatannya. Aku
semakin tak karuan rasanya, pandanganku terjun kebawah menembus air laut.Tanpa
terduga ,hal itu terlihat jelas dari pantulan air laut.
Dia melepaskan genggamannya, membuat kertas
itu terbang diterpa angin.Yang membuatku semakin sakit, dia melakukannya dengan
senyuman.Pandanganku semakin jatuh ke dasar laut, dengan kepala tertunduk
kucoba menelan apa yang telah terjadi.Seiring dengan terpejamnya mataku, beku
ini semakin menjadi.Begitu dingin, sampai aku tak merasakan apa-apa. “Apakah
seperti ini akhirnya?”
Hangat. Dalam gelap kurasakan kehangatan,
entah dari mana.Tanpa peduli terus menjalar keseluruh tubuh, mencairkan
kebekuan, menghancurkan bongkahan es dalam hati.Kebekuan ini segera berganti
ini dengan kehangatan yang mendamaikan.Aku masih terpejam ketika hangat itu
menjalar.Kucari dari mana hangat itu berasal.Begitu terkejutnya aku ketika menemukan sumber kehangatan itu. Berlahan kubuka
mata.Lagi-lagi aku terkejut ketika kutemukan sosok itu tepat didepanku. Kedua
bibir kami menyatu melelehkan semua kebekuan ini, menciptakan kehangatan yang
teramat sangat.Kulihat sebuah kertas menari di udara, kertas yang sama yang
kuberikan paada sosok itu, Debby. Masih
kosong, tanpa ada huruf ataupun baris puisi tertorehkan disana. Putih polos, itulah
puisi terindahku untuknya.Hanya orang yang mencintaiku yang mampu merasakannya.Tidak
salah lagi, Debby kaulah orangnya.
Inilah yang kumaksud dengan cinta.Cinta tidak memerlukan kata-kata untuk mengutarakan
keberadaanya, kata-kata hanya akan mereduksi makna dari cinta itu sendiri.Yang
diperlukan dalam cinta adalah cinta.Seberapa pun dalam cinta dipendam, cinta
itu akan tetap muncul ke permukaan nantinya. ketika kedua orang saling mencintai,
keduanya akan saling merasakan perasaan orang yang dicintainya meski tanpa ada
kata-kata sekali pun.Karena cinta bukan untuk dikatakan, tapi dirasakan.
Maka, rasakanlah CINTA.