Sabtu, 08 Juni 2013

CINTAKU BERLABUH DI PANTAI MALANG




Hujan di bulan januari memanglah sebuah pelengkap untuk memperindah cuaca pada waktu itu, seperti halnya saat ini.Langit tanpak pucat sesekali.Hujan begitu bersemangat menyapa setiap makhluk yang ada dibawahnya penuh keriuhan, meski tidak terlalu deras nyatanya, cukup membuat pepohonan, lorong-lorong jalan,  dan  semuanya tak terkecuali aku yang terpaksa basah dibuatnya.Dipadu dengan suara guntur yang membahana semakin mendukung atmosfir suasana malam ini.
Konsekuensinya, acara ngaji seni malam ini ditunda untuk  beberapa saat.Banyak penonton yang bersembunyi di angkringan-angkringan  yang tersebar di sekitar alkid(alun-alun kidul) Yogyakarta.Aku memilih angkringan di sudut paling pojok alkid.Tak menunggu waktu lama aku langsung memesan secangkir kopi dengan maksud menghangatkan diriku yang mulai menggigil kedinginan.Kusruput berlahan-lahan minuman cairan itu sambil menikmati kolase hujan yang semakin ramai mendayu.
Tanpa disadari mataku memejam semakin hanyut dalam alunan musik alam, ketika sekelompok gadis tiba-tiba masuk ke angkringan memecah keheninganku.Mereka ada sekitar lima orang, semuanya cewek.Dilihat dari pakaian mereka, terlihat jelas mereka terlambat menyelamatkan diri dari guyuran air hujan.Air terlihat merembes ke pori-pori pakain mereka. Dan sepertinya mereka bukanlah orang asli jogja, menurut pengamatan sekilasku dari tekstur wajah dan pakaian mereka.Disini naluri ingin tahuku kembali membuncah. Kuberanikan diri bertanya kepada mereka.
“ehm ehm, maaf permisi. mbak-mbak kelihatannya bukan asli jogja ya ?” kubuka pembicaraan dengan ekspresi sebiasa mungkin, sedari agak menyondongkan kepalaku ke arah mereka.Beberapa detik tak terdengar suara, hingga akhirnya.
“Ow iya mas.Kami dari Malang. lagi liburan kuliah, sengaja mau lihat acara ngaji seni” jawab salah seorang yang paling dekat denganku, dengan suara lembut dan sedikit senyum yang terbit di wajahnya.
“Emm…” tandaku meng-iya-kan. “Dari Malang to, perkenalkan aku Irvan Golziher asli jogja. Panggil aja Irvan, gak peke mas ya, hhe”. Aku mencoba akrab, meski aku yakin mimik wajahku entah bagaimana tergambarkannya.Belum sempat aku menghela nafas, ada hal yang memaksaku memelototkan mata.Sebuah kalung salib melingkari lehernya.Dari kalung itu aku memahami satu hal, dia berbeda keyakinan denganku.
“Mas irvan, eh irvan…. bisa aja” ada sedikit parau di nada suaranya. “Aku Maria Debby, Debby aja manggilnya juga gak pake mbak lho !”.Lagi-lagi lesungnya muncul ke permukaan begitu ringan.
Entah sudah berapa lama kami hanyut dalam obrolan, sampai tak menyadari kalau hujan di luar sana sudah mulai mereda.Para calon penonton yang lain juga mulai keluar dari bilik-bilik angkringan, berduyun-duyun menuju depan panggung. “Acara akan segera dimulai” terdengar suara dari corong mikrofon menggema.Debby’s group melenggang meninggalkan aku dan bapak tua pemilik angkringan, setelah sebelumnya mereka berpamitan.Aku masih bertahan, duduk bersila diatas kursi kayu tua yang mungkin usianya setua bapak pemilik angkringan, yang sedang asik memainkan asap rokok di kursi tahtanya.Kuteguk tetes terakhir kopi, sedari menyaksikan langkah kepergian Debby yang semakin hilang tertelan lautan manusia di depan sana.
Ada sedikit desiran aneh, yang tiba-tiba menyergapku.Tepat di hati.Bercampur kekecewaan, entah mengapa.Aku tak begitu yakin, tapi aku benar-benar merasakannya.Tak bisa dibohongi. “Apakah ini ada hubungannya dengan pertemuanku dengan Debby barusan ?” hatiku mulai menelisik.Tapi, bukankah sudah biasa aku bertemu dengan orang asing lalu berkenalan.Aku mencoba membantah sisi hatiku yang berdesir.Namun, ketika sisi hatiku yang lain berbisik “Tenanglah” hatiku yang berdesir mulai tenang dan terkontrol lagi.Dan aku entah mengapa, tersenyum dalam diam.
*****
“M-a-s, mas......” samar-samar kudengar suara memanggilku, “Mas.. mas...”terdengar lagi, lebih jelas.Kali ini kurasakan beberapa tepukan tangan mendarat di pundakku. “Maaf mas, tiketnya ?” dengan setengah sadar kurogoh saku belakang celana, mengikhlaskan jari-jemariku bergerilya disana.Sejurus kemudian, tanganku mulai terangkat dengan secarik kertas dalam genggamannya.Setelahnya, kubiarkan orang didepanku –persisnya, aku tak tahu dia laki-laki atau perempuan- melakukan tugasnya.
“Wah mas, tidurnya enak bangetnya? kok sambil senyum-senyum gitu?” suara itu datang lagi, halus kedengarannya. Dengan bantuan kedua tanganku yang telah menjelma menjadi lap di mataku, kupaksakan diri sadar sepenuhnya. Terlihat seorang ibu tersenyum sembari mengembalikan secarik kertas yang kuberikan padaanya tadi. “Maaf bu ?” tanyaku balik diiringi tiga kerutan di dahi, karena aku kurang begitu yakin dengan apa yang terlontar dari mulutnya beberapa detik yang lalu. Ibu itu mengulang pertanyaannya lengkap dengan senyumnya. “Ow.....” agak panjang aku mengucapkannya, sekaligus menyembunyikan kuapku ditengah-tengah dua huruf tersebut. “Gak papa kok buk, Cuma mimpi”. Dengan dukung sedikit senyum yang agak dipaksakan, aku langsung berspekulasi dengan kata-kata. Dan ibu itu berlalu, lagi-lagi lengkap dengan senyumnya.
Cuma mimpi.bukan, itu bukan hanya sekedar mimpi. Itu mimpi tentang awal perjumpaan kita satu tahun silam.Dan itu bukan hanya sekedar mimpi. Aku tahu itu. Aku pikir ini adalah sebuah pertanda. Sekarang takdir menuntunku ke Malang. Aku mendapat undangan dari teman-teman “SUARA KATA” untuk membacakan antologi puisi di salah satu kampus disana.
Kulepas jaket yang membungkusku, kutidurkan ia disudut sana dekat dengan Sandi. Aku berdiri memandangi sekitar. Kakiku menarikku ke pintu gerbong kereta, aku hanya pasrah. Satu, dua, tiga batang rokok hinggap dimulutku begitu saja, aku hanya bisa menyambutnya tanpa kata. Kuhisap, dalam sekali. Lalu kumuntahkan dengan indahnya di udara. Aku masih disana. Di pintu gerbong, menikmati belaian angin di wajahku.Meresapi begitu cantiknya lukisan Tuhan, menggoda.Ketika tiba-tiba gambaran sosok itu muncul di angkasa. Membiusku beberapa saat, hingga kedipanku mengaburkannya kembali. Debby.
Suasana kereta cukup padat, maklumlah kelas ekonomi. Cocok buat mahasiswa seperti aku, hehe. Para pengasong berlomba-lomba menawarkan barang dagangannya. Mulai dari nasi bungkus, gorengan, berbagai minuman, ada juga yang menjual peralatan memasak, hingga menawarkan jasa pijit.Disudut gerbong sana, terdengar suara jerit bayi begitu melengking terdengar.Sepertinya tidur siangnya terusik oleh suara-suara yang bersimpang siur disekitarnya. Ibunya terlihat kerepotan menenangkannya, dikipas-kipasnya bayi itu dengan koran bekas bungkus nasi, sambil menimang-nimangnya pelan.Bayi itu mulai mengatupkan mulutnya, matanya melemas hingga akhirnya terpejam dalam pelukan ibunya.
Di kursi depan sana, ada seorang kakek yang tengah tertidur pulas.Disamping bawahnya, seorang bocah sekitar 8tahunan memijit kaki kering kakek tersebut.Sebegitu nikmatnya, sampai-sampai mulut kakek itu menganga lebar bagai meminta makanan. Bocah itu, mendongakkan kepalanya sesekali. Mungkin ingin memastikan kakek itu belum mati, sebelum membayar jasa pijitnya. Aku hanya bisa tertawa dalam hati.
Semakin kereta melaju, semakin banyak stasiun terlewati. Semakin banyak stasiun yang dilewati, semakin banyak pula penumpang yang turun. Dan semakin berkurang penumpang, begitu juga pengasong semakin sepi. Kulemparkan pandangan ke penjuru gerbong,  sudah tak kutemukan Ibu penggendong bayi dan kakek tua yang sembari tadi kuamati. Entah kemana mereka pergi, biarlah. Kereta terus melaju gagah menerobos belukar, suaranya yang berwibawa membuat para burung terbang gemetaran.Sedangkan aku, duduk sendiri disini.Bersama sepi.
Disaat seperti ini, naluri menulisku tak tertahan lagi. Ya, saat sepi seperti ini. Puisi adalah obat terbaik unukku, disaat tak ada siapa-siapa. Kecuali aku dan Sandi—gitar peniggalan almarhum ayah—.Aku tak tahu, aku menulis untuk apa ataupun untuk siapa.Yang jelas waktu menulis, aku merasakan ada sesuatu yang telah sekian lama hilang dapat kembali hadir dalam jiwaku. Entah apa itu, kehadirannya selalu dapat membangkitkan seluruh emosi yang terlelap beku. Tanpa puisi, aku tak tahu apakah aku masih bisa bertahan sampai sekarang. Puisi bagaikan ayah, yang selalu menghargaiku seperti halnya aku menghargainya.
Tak seperti biasanya. Jika biasanya aku menulis puisi tak tahu untuk apa ataupun untuk siapa. Namun, kali ini. Ketika sosok itu tiba-tiba berkelebat dipikiranku. Seolah, aku menemukan alasan untuk apa dan untuk siapa aku menulis. “Benarkah ini alasannya?” bingung aku menerka jawaban dari pertanyaanku sendiri.Cukup lama aku melukiskannya diatas kertas. Bukan karena aku menemukan kesulitan, Tapi karena aku menikmatinya begitu saja. Selalu saja seperti ini. Waktu selayak terhenti jika aku menikmati sesuatu, apapun itu.
Akhirnya, sampailah aku di stasiun Singosari. Tepat pukul 16.00 wib. Suasana tak kalah ramainya dengan Lempuyangan di Jogja. Bisa-bisa aku kebingungan mencari jalan, jika Anton -teman suara kata- tidak menjemputku kala itu. Dia agak gemuk, bisa juga dibilang gemuk jika dibandingkan dengan tubuhku yang memang terbilang tidak begitu gemuk.Dan dia agak sedikit humoris sepertinya. Setelah berbincang sepatah dua patah kata, kami langsung menuju kampus tempat diselenggarakannya acara. Anton menggondolku dengan motor vespanya. “Preketek ketek ketek.......” suaranya meraum, membuat setiap mata memandangnya risi.Hahaha.
*****
“Universitas Kristen Malang” begitulah tulisan yang menggelantung di gerbang pintu masuk kampus. Sempat membuatku berhenti bernafas sebentar ketika membacanya.Vespa terus melaju menyusuri jalanan kampus, terlihat banyak bangunan tertanam rapi di area kampus, taman-taman tersebar di berbagai penjuru, pepohonan menambah nuansa sejuk dalam kampus, bahkan tak terlihat sampah satu pun terlihat. “Mas irvan, udah sampai mas” suara Anton yang besar memecahkan  sekaligus menghentikan pengamatanku “mungkin kita langsung shalat dulu aja mas, biar sekalian”  tawarnya padaku, sembari melangkahkan kaki ke suatu ruangan. “Oke oke, biar sekalian mumpung udah maghrib ton” jawabku sekenanya sambil mengikuti derap langkahnya.
Seusai shalat, aku diantar menuju suatu ruangan tempat dimana para anggota suara kata yang lain berada. Sekitar 10x15 meter kira-kira luas ruangan itu. Para anggota yang lebih dahulu sampai disana menyambut kedatanganku, dengan Anton tentunya. “woyy, welcome welcome..... selamat datang bro” sahut Mas Rio sambil menjabat tanganku, dialah dalang dari pelaksanaan acara pentas kali ini. “wah udah rame nih mas, aku ketinggalan. hhe” jawabku tak kalah hebohnya, sambil malambaikan tangan ke penjuru  ruangan.Tak lupa dengan senyum ala ibu pemeriksa karcis tadi siang.Kupilih satu tempat vavoritku untuk merebahkan lelah ini, pojok.Langsung saja tanpa memesan, satu gelas kopi datang dengan sendirinya. Sambil menyeruput, kuamati para anggota yang lainnya.Disini aku merasakan Indonesia. Ruangan ini layaknya sebuah miniatur Indonesia.Aku berani bertaruh, mereka pasti dari berbagai suku, etnis, daerah, budaya, agama yang berbeda.Acara ini memang bertemakan Pluralitas Dalam Berseni .Bukan hanya itu, aku merasakan kebersamaan yang teramat jujur disisni.Semuanya melebur, mencair, dan menyatu.
Mata ini akhirnya mulai berat, segera kubawa kembali ke ruangan.Kutidurkan ia bersama aku.Setelah sebelumnya , memanjakannya dengan udara malam.
*****
“Van van van, bangun ! subuhan” terasa kakiku di goyang-goyangkan. Langsung saja aku terbangun kalap, kaki adalah kelemahanku saat tidur. Mas Rio sudah rapi berhiaskan peci dan sarung yang dibutnya switer di leher.Aku sedikit tersenyum kecil, ada kesan iri dan lucu melihatnya.Shalat kali ini agak lebih banyak jamaahnya, tak seperti semalam ketika aku shalat hanya berdua dengan Anton.Kami yang sudah bangun lebih dulu, membangunkan teman-teman yang lain yang belum bangun.Setelah semuanya terbangun, mandi dan tetek bengek yang lain termasuk makan pagi adalah hal yang kudu dijalani.Akan ada rapat untuk pelaksanaan pentas nanti malam, semuanya diharap hadir, baik cowok maupun cewek.
Hari masih terbilang pagi ketika rapat tengah berlangsung. Kicau burung bersautan disana sini.Sinar mentari menerobos melalui sela-sela dahan membentuk garis-garis vertikal.Terlihat para pekerja menyapu dedaunan yang berjatuhan, tercecer secara alami.Suasana rapat sungguh efisien, disamping memang waktunya yang tepat ditambah perut kami yang telah terisi oleh berbagai masakan khas kota Malang. Rapat berlangsung sekadarnya, tak begitu lama.Acara memang sudah terkonsep dan tersistem dengan baik, rapat ini hanya untuk menge-fix kannya saja.
 “Van, sini!” terdengar sebuah teriakan memanggilku, singkat tapi jelas.Ku putar pandanganku mencari sumber suara.Terlihat di pojok ruangan Mas Rio melambaikan tangan dan seorang perempuan entah siapa. Aku teringat, Mas Rio ingin memperkenalkanku dengan seorang temannya, dari Malang juga katanya. Aku cukup mengacungkan ibu jari keatas, tanda mengiyakan.
Sejurus kemudian, langkahku sudah menapak mendekati mereka berdua.Namun, belum sempat aku sampai, perempuan itu terlihat berbisik ke Mas Rio sembari berlalu merekatlan handphone ke telinganya.”Seperti tak asing” aku tertegun dalam hati.
“Bentar van, dia lagi ngangkat telfon dari sponsor, sabar. hehe” sambarannya cepat, begitu jarak kami sekitar setengah meter dekatnya.
“Wah, perempuan karir nih ceritanya ?” aku  mencoba mengompori Mas Rio, dan berhasil.
“Dengerin ya van, dia itu temen seperjuanganku di Malang. Dia suka banget yang berbau seni, persis kayak kamu.Berbagai alat musik sudah menjadi makan sehari-hari buatnya.Pokoknya kalo lihat dia, aku jadi inget sama kamu.Kalo lihat kamu, ya jadinya inget dia gitu.Aku gak sabar ingin ngenalin ke kamu. Namanya tu.....”
“Hey....” belum sempat Mas Rio menyelesaikan penjelasan super hebohnya itu, kami berdua dibuat kaget.
“Irvan? ini irvan kan....” kutolehkan wajahku  ke asal suara.Begitu terkejutnya aku ketika kutemukan sesosok yang memang tak asing lagi bagiku, sosok yang selalu menerobos masuk ke dalam mimpiku, sosok yang selalu tergambar ketika aku meneropong awan, sosok yang memiliki lesung indah ketika tersenyum, aku tak mungkin lupa. “Ge- Gebby ?” agak tertahan aku mengucapkannya.
*****
Hari berlalu tak terasa.Malam pun tiba.Garis-garis cahaya menyilang kesana-kemari, sesekali menyorot wajah penonton yang sudah mendesaki areal taman kampus.Malam  ini semuanya dimanjakan dengan berbagai penampilan seni ank-anak suara kata.Drama, teater, musikalisasi puisi, pembacaan puisi, perang pantun, dan masih banyak seabrek penampilan-penampilan yang disuguhkan.Tanpa disangka, aku yang ditugaskan untuk membacakan antologi puisi, harus berkolabolasi dengan teman karirnya, siapa lagi kalau bukan dia.Debby.Tentu saja itu ide Mas Rio.Pada awalnya ada rasa canggung menyergap tatkala naik ke atas panggung, namun setelah melihat Debby yang kelihatannya begitu menikmati kolaborasi ini, kulepaskan jiwaku, membiarkannya menari, membebaskannya bernyayi.Hingga ledakan tepuk tangan mengepung penampilan kami berdua malam itu.Aku dan Gebby.
Dibandingkan penampilanku malam ini, sebenarnaya ada hal yang lebih penting dari semuanya.Bahkan lebih penting daripada maksud ke datanganku ke Malang kali ini.Aku ingin memberitahukannya pada seseorang sekarang, sejujurnya.Bukan, bukan sekarang.Tapi sejak pertama kita bertemu, layaknya malam ini.Meski dalam dimensi yang berbeda.Aku  tak melihatmu lagi sejak turun dari panggung, beberapa saat lalu. “mungkin lagi bantu penampilan temen-temen selanjutnya” pikirku mencoba sepositif mungkin.
 Wah keren van, keren. penampilanmu oke banget dah !!!” siapa lagi kalau bukan Anton, sembari mengangkat kedua ibu jari tangannya ke udara. Kuhampiri Anton, duduk pada kursi kosong di sebelahnya. “makasih... penampilan pantonimmu tadi juga gak kalah spektakulernya lho, penonton sampai kau buat terpingkal-pingkal, hha” kuimbangi pujiannya padaku. Dia jadi terlihat salting , ya benar salting ala orang gemuk maksudku.
******
Balekambang, disinilah kami berada sekarang. Sebuah pantai yang terletak di pinggiran pesisir kota Malang, merupakan tempat yang tepat untuk merayakan kesuksesan acara kami semalam.Tempat yang tepat untuk melenyapkan semua lelah yang menggantungi diri.Turun dari bus, semua menyebar menyerbu ke segala penjuru pantai.Berenang, perang pasir, berfoto ria, saling menimbun dengan pasir, atau hanya berjalan menyisiri di garis pantai.Intinya semuanya senang tanpa kecuali, gelak tawa yang melangit semakin memperindah Balekambang sore ini.
Cukup jelas disana,ketika aku melihat sekrumunan orang mencoba menceburkan Anton ke dalam air. Anton yang meronta-ronta liar, mereka begitu terlihat kuwalahan menjinakkannya.Namun tetap saja 10 lidi lebih kuat daripada 1 lidi, mungkin itu pepatah yang tepat untuk menggambarkan kekalahan Anton sore itu.Dia berakhir tragis, basah dari ujung rambut sampai pangkal kaki.Meskipun begitu, dia belum terlihat menyerah.Ditariknya siapa saja sekenanya, tiga orang berhasil dipaksa menemani kebasahannya. 1 lawan 3, angka yang cukup fantastis untuk orang seukuran Anton. Yang lain, hanya bisa tertawa lepas menyaksikan adegan itu.Tak terkecuali aku, yang sedang duduk sendiri menikmati alam yang polos ini.Tapi tunggu sebentar......
Di pura sana kulihat seseorang sedang berdiri sendiri, meletakkan  kedua tangannya diatas pagar kayu menghadapkan wajahnya ke laut lepas, membelakangiku.Cukup jauh jaraknya dari tempatku sekarang, namun aku tahu siapa orang itu.Jangankan sejarak ini, sejauh manapun aku tetap bisa melihat wajahnya.Meski tanpa bertemu.Wajahnya selalu hadir disaat aku memikirkannya, bahkan wajah itu hadir dengan sendirinya mengingatkanku untuk memikirkannya.Desir itu muncul lagi, desir di hati ketika awal kita bertemu 1 tahun silam. Desir itu menuntun langkahku kepadanya.Aku tak bisa lagi berfikir kali ini, hanya mampu mengikuti kemana desir ini menuntunku melangkah.
Sekitar satu meter jarak kami sekarang, kupandangi dirinya dari samping.Rambut hitamnya terkulai indah melambai diterpa angin pantai.Kedua telapak tangannya saling memeluk satu sama lain.Ada sedikit warna merah jambu merekah di pipinya.Bagaimana mungki kakinya kuasa menopang keindahan seperti ini, pikirku.Dalam lindungan kaca mata minusnya, matanya masih tertidur pulas sekali.Meski aku yakin otaknya sedang memikirkan sesuatu, entah apa.Dia tidak merasakan kehadiranku.Hingga sedikit demi sedikit mata itu terbangun, mengajak wajahnya menoleh ke arahku.Kedua mata kami menemukan objek yang tak bisa ditolak antara keduanya.Dan desir ini semakin membuncah, tak terbendung lagi.  Wajahnya kembali ke posisinya semula meninggalkan senyuman tipis di mataku. Kudekati sosok itu, tepat disampingnya. Mencoba menyamakan posisi dengannya.Belum ada sepatah kata pun yang muncul dari kedua mulut kami. Mungkin tak perlu ada kata-kata yang keluar kali ini, cukup seperti ini. Tenang.
Namun, desir ini kembali menerobos ke ulu hati.Mencoba mengingatkanku akan sesuatu. Ya, benar. Puisi itu, puisi yang kuciptakan di kereta bersama sandi.Puisi pertamaku dimana cinta adalah jawaban untuk apa aku  menulis dan kau adalah  tujuan untuk siapa aku menulis.Puisi yang mengandung sosokmu, karena hadirmu dalam setiap goresannya.Inilah waktu untuk mengutarakanya.
Kertas itu masih terlipat rapi di saku bajuku, kertas yang memuat puisi itu.Tanganku mencoba meraihnya, ada sedikit getaran mengiringi geraknya.Kuelus kertas itu, cukup sekali.Untuk memastikan perasaanku di dalamnya.Kuserahkan berlahan ke sosok disampingku, diterimanya kertas itu dengan jari telunjuk dan tengahnya.Wajahnya beralih ke arahku penuh tanya, masih tanpa kata.Aku tersenyum  menjawab tanyanya, kini wajahnya telah beralaih ke kertas itu.Dia buka lipatannya. Aku semakin tak karuan rasanya, pandanganku terjun kebawah menembus air laut.Tanpa terduga ,hal itu terlihat jelas dari pantulan air laut.
Dia melepaskan genggamannya, membuat kertas itu terbang diterpa angin.Yang membuatku semakin sakit, dia melakukannya dengan senyuman.Pandanganku semakin jatuh ke dasar laut, dengan kepala tertunduk kucoba menelan apa yang telah terjadi.Seiring dengan terpejamnya mataku, beku ini semakin menjadi.Begitu dingin, sampai aku tak merasakan apa-apa. “Apakah seperti  ini akhirnya?”
Hangat. Dalam gelap kurasakan kehangatan, entah dari mana.Tanpa peduli terus menjalar keseluruh tubuh, mencairkan kebekuan, menghancurkan bongkahan es dalam hati.Kebekuan ini segera berganti ini dengan kehangatan yang mendamaikan.Aku masih terpejam ketika hangat itu menjalar.Kucari dari mana hangat itu berasal.Begitu terkejutnya aku  ketika menemukan  sumber kehangatan itu. Berlahan kubuka mata.Lagi-lagi aku terkejut ketika kutemukan sosok itu tepat didepanku. Kedua bibir kami menyatu melelehkan semua kebekuan ini, menciptakan kehangatan yang teramat sangat.Kulihat sebuah kertas menari di udara, kertas yang sama yang kuberikan  paada sosok itu, Debby. Masih kosong, tanpa ada huruf ataupun baris puisi tertorehkan disana. Putih polos, itulah puisi terindahku untuknya.Hanya orang yang mencintaiku yang mampu merasakannya.Tidak salah lagi, Debby kaulah orangnya.
Inilah yang kumaksud dengan cinta.Cinta tidak  memerlukan kata-kata untuk mengutarakan keberadaanya, kata-kata hanya akan mereduksi makna dari cinta itu sendiri.Yang diperlukan dalam cinta adalah cinta.Seberapa pun dalam cinta dipendam, cinta itu akan tetap muncul ke permukaan nantinya. ketika kedua orang saling mencintai, keduanya akan saling merasakan perasaan orang yang dicintainya meski tanpa ada kata-kata sekali pun.Karena cinta bukan untuk dikatakan, tapi dirasakan.
Maka, rasakanlah CINTA.

 
















  



Selasa, 04 Juni 2013

Christoph Luxenberg The Siro-Aramaic Reading Al-Quran


Christoph Luxenberg adalah nama samaran penulis The Siro-Aramaic Reading Al-Quran: Sebuah Kontribusi untuk Decoding dari Bahasa Al-Qur'an (Jerman edisi 2000, terjemahan Inggris 2007) dan beberapa artikel dalam antologi tentang awal Islam.

Luxenberg datang ke mata publik pada tahun-tahun setelah tahun 2000, setelah penerbitan buku pertamanya (atau setidaknya yang pertama di bawah nama samaran ini), Siro-Aramaic Reading Al-Quran, yang menegaskan bahwa bahasa komposisi awal Al-Qur'an tidak eksklusif Arab, seperti yang diasumsikan oleh para penafsir klasik, melainkan berakar dalam dialek Siro-Aram dari abad ke-7 Mekah Quraisy suku, yang berhubungan dalam sejarah awal dengan berdirinya agama Islam. Premis Luxenberg adalah bahwa bahasa Aram, yang lazim di seluruh Timur Tengah selama periode awal Islam, dan merupakan bahasa budaya dan liturgi Kristen, memiliki pengaruh besar pada komposisi kitab suci dan makna dari isi Al-Quran.
Artikel utama: The Siro-Aramaic Reading Al-Quran

Luxenberg mengklaim bahwa Al-Qur'an mengandung banyak bahasa ambigu dan bahkan bisa dijelaskan. Dia menegaskan bahwa bahkan sarjana Muslim menemukan beberapa bagian-bagian sulit untuk mengurai dan memiliki rim tertulis komentar Quran mencoba untuk menjelaskan bagian ini. Asumsi di balik usaha mereka, bagaimanapun, selalu bahwa setiap bagian yang sulit adalah benar dan bermakna, dan bahwa hal itu dapat diuraikan dengan alat-alat pendidikan Muslim tradisional. Luxenberg menuduh akademisi Barat dari Alquran yang mengambil pendekatan pemalu dan imitatif, terlalu mengandalkan kerja bias dari ulama.

Luxenberg berpendapat bahwa para sarjana harus mulai dari awal, mengabaikan komentar islam kuno, dan hanya menggunakan metode terbaru dalam linguistik dan sejarah. Dia berpendapat bahwa Muhammad berkhotbah konsep yang baru bagi banyak pendengar Arab nya, konsep bahwa Muhammad telah belajar dari percakapan dengan orang-orang Yahudi dan Kristen Arab, atau dari orang-orang Kristen Suriah (di mana ia diyakini telah melakukan perjalanan). [Kutipan diperlukan] oleh karena itu, jika sebuah kata tertentu atau frase Quran tampaknya berarti dalam bahasa Arab, atau dapat diberikan berarti hanya dengan dugaan disiksa, masuk akal-ia berpendapat-untuk melihat ke bahasa Aram dan Syria serta Arab.

Sedangkan komentar Islam tradisional umumnya membatasi dirinya untuk leksikologi Arab, Luxenberg mengusulkan untuk memperluas jumlah bahasa yang harus dikonsultasikan.
Luxenberg juga berpendapat bahwa Al-Qur'an didasarkan pada teks-teks sebelumnya, yaitu lektionar digunakan di gereja-gereja Kristen Suriah, dan bahwa itu adalah karya beberapa generasi untuk beradaptasi teks-teks ke dalam Al Qur'an yang kita kenal sekarang.
    "Menurut tradisi Islam, Alquran tanggal kembali ke abad ke-7, sedangkan contoh pertama dari sastra Arab dalam arti penuh frasa hanya ditemukan dua abad kemudian, pada saat 'Biografi Nabi', yaitu , dari kehidupan Muhammad seperti yang ditulis oleh Ibn Hisham, yang meninggal pada 828. Dengan demikian kita dapat menetapkan bahwa sastra Arab pasca-Quran yang dikembangkan oleh derajat, pada periode setelah karya al-Khalil bin Ahmad, yang meninggal pada 786, yang pendiri Arab leksikografi (kitab al-ain), dan Sibawayh, yang meninggal pada 796, kepada siapa tata bahasa Arab klasik adalah karena. Sekarang, jika kita menganggap bahwa komposisi Al-Quran diakhiri pada tahun wafatnya Nabi Muhammad, pada tahun 632, kita menemukan hadapan kita selang waktu 150 tahun, di mana tidak ada jejak literatur Arab patut dicatat. "
    "Pada saat itu, tidak ada sekolah-kecuali, mungkin, untuk pusat Kristen al-Anbar dan al-Hira, di selatan Mesopotamia, atau yang sekarang adalah Irak. Orang Arab dari wilayah yang telah dikristenkan dan diperintahkan oleh Suriah Kristen. bahasa liturgi mereka adalah Siro-Aram. Dan ini adalah kendaraan kebudayaan mereka, dan lebih umum bahasa komunikasi tertulis. "
    "Dimulai pada abad ketiga, orang-orang Kristen Suriah tidak membatasi diri untuk membawa misi penginjilan ke negara-negara terdekat, seperti Armenia atau Persia. Mereka menekan ke wilayah jauh, sampai ke perbatasan Cina dan pantai barat India, di samping seluruh jazirah Arab sampai ke Yaman dan Ethiopia. Dengan demikian lebih mungkin bahwa, untuk memberitakan pesan Kristen kepada orang-orang Arab, mereka akan menggunakan (antara lain) bahasa orang Badui, atau Arab . Dalam rangka untuk menyebarkan Injil, mereka selalu memanfaatkan dragon bahasa. Tapi di era di mana bahasa Arab hanya perakitan dialek dan tidak memiliki bentuk tertulis, para misionaris tidak punya pilihan selain untuk menggunakan bahasa sastra mereka sendiri dan budaya mereka sendiri,.. yaitu, untuk Siro-Aramaic Hasilnya adalah bahwa bahasa Quran lahir sebagai bahasa Arab tertulis, tapi salah satu derivasi Arab-Aram "