Indonesia merupakan bangsa yang lahir berkat rahmat Allah yang maha
kuasa, bangsa yang memiliki beribu-ribu pulau berserakan dari sabang sampai
merauke, bangsa yang terbentuk dari berbagai macam ras, suku, etnis rakyatnya,
bangsa kaya yang didominasi oleh orang-orang miskin penyakitan, bangsa yang
–katanya— dipimpin secara dari, oleh,
dan untuk rakyat, bangsa yang menguntungkan dan merugikan, bangsa yang
menyenangkan namun menyakitkan. Jika mau diteruskan akan banyak ditemukan
kalimat yang mencoba mendefinisikan kata “Indonesia” hingga penuh tulisan ini,
tetap saja tidak akan ada habisnya.
Karena muncul sedikit saja kejadian di Indonesia, entah itu
politik, ekonomi, agama, dan seterusnya
itu akan menjadi sebuah fenomena yang layak dijadikan hot news di
berbagai media sosial, apalagi pasar pers yang suka mendramatisir semakin mencetar-membahanakan
keadaan. Sebut saja kejadian setahun terakhir ini tentang jatuhnya pesawat Air
Asia QZ8501, tanah longsor di Banjarnegara, meletusnya gunung sinabung, banjir
di berbagai daerah, angin puting beliung di Pati, dan masih banyak lagi. Tidak
mengheran jika dari kejadian-kejian tersebut banyak orang menjuluki Indonesia
sebagai “Negeri 1001 musiabah”.
Sebagai negeri 1001 musibah yang lahir atas rahmat Allah yang maha
kuasa, banyak mucul berbagai macam tafsiran terkait fenomena tersebut. Ada yang
berpendapat ini adalah cobaan dari Tuhan, sebagiannya mempercayainya sebagai
teguran dari Tuhan, bahkan ada yang menafsirkannya sebagai azab dari Tuhan kepada
manusia ndonesia, namun ada juga yang menganggapnya hanya sebagai gejala alam
biasa.
Kemudian seperti biasa, pendapat-pendapat itu dipaparkan dengan
rata-rata meyakinkan. Tentunya, dari paparan-paparan tersebut disesuaikan
dengan sikap, daya pikir, dan kemampuan masing-masing. Pebedaan ini pun kiranya
tidak perlu didramatisir seperti biasanya sehingga memunculkan perang pendapat
yang tidak solutif sama sekali, cukup bercermin pada diri sendiri manakah yang
lebih cocok dan pas untuk kita.
Mereka yang biasa berfikir positif dan berpositif pikiran husnudzan
pada musibah-musibah yang menimpa Indonesia akan mengatakan bahwa Allah
sedang menguji dan mencoba bangsa Indonesia. Al-Quran mengatakan: “Ahasibannasu
an yutrakuu an yaquluu aamannaa wahum laa yuftanuun. Walaqad fatanna l-ladziina
min qablihim falaya’lamanna l-lladziina shadaquu walaya’lamanna l-kadzibiin.”
(QS. 29:2-3). “Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja)
mengatakan kami telah beriman, sedang mereka tidak diuji lagi? dan Sesungguhnya
Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, Maka sesungguhnya Allah
mengetahui orang-orang yang benar dan orang-orang yang dusta.”
Disamping itu, ada sebuah hadis yang mengatakan: “Idzaa ahabba
l-allahu ‘abdan ibtalahu”. “Jika allah mencintai hambanya, maka Ia akan
mengujinya”. Jadi, musibah-musibah ini menunjukkan kecintaan Allah kepada
bangsa Indonesia dan sebagai alamat baik bagi bangsa Indonesia. Ibarat
mahasiswa akan lulus, ia akan diuji terlebih dahulu. Sehingga lewat
musibah-musibah tersebut –mungkin— Tuhan mengharapkan bangsa Indonesia menjadi
bangsa yang benar-benar matang dan lebih dewasa dari sebelumnya.
Dengan sikap husnudzan seperti ini, musibah-musibah yang
bertubi-tubi justru malahirkan harapan-harapan akan datangnya kebaikan-kebaikan.
Dari harapan tadi mengantarkan kita menjadi pribadi yang lebih bersabar,
memperbaiki kinerja amal dan akan lebih mendekatkan diri kepada-Nya.
Kemudian mereka yang berpendapat bahwa musibah adalah teguran dari
Tuhan, mungkin berangkat dari penyaksiannya terhadap berbagai macam kenyataan
yang menunjukkan bahwa bangsa ini sudah terlalu jauh melanggar ancer-ancer
yang sudah digariskan Tuhan, keadilan sudah menjadi barang yang diperjual
belikan, hukum yang seharusnya dujunjung tinggi akan menjadi tumpul di mata
penguasa dan menjadi begitu tajam bagi rakyat, merusak alam, keserakahan
merajalela, pertikaian dan permusuhan antar golongan, seakan-akan sudah menjadi
budaya. Sementra agama yang seharusnya berperan sebagai wasilah meraiah ridha
Allah, hanya dianggap sebagai semacam organisasi sosial-politik yang tidak
jarang justru merusak kedamaian. Agama hanya menjadi tumpungan bagai mereka
yang berkepentingan.
Al-Quran telah
meramalkannya: “ Zhaharal fasaadu filbarri walbahri bimaa kasabat aidinnaasi
liyudziqahum ba’dhal-ladzii ‘amiluu la’allahum yarji’un.” (QS.30:41).
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan
manusia supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari akibat perbuatan
mereka, agar mereka kembali ke jalan yang benar.”
Maka karenanya, kita mesti malakukan muhasabah, mawas diri,
memperbaiki kesalahan-kesalahan yang kita perbuat, dan meluruskan perilaku
menuju jalan yang benar. Sebab teguran Tuhan itu bermula dari tingkah-polah
kita selama ini, dengan kata lain satu-satunya jalan keluar ialah merubah
tingkah-polah kita menjadi lebih
bermoral dan beretika.
Kemudian mereka yang melihat musibah sebagi azab dari Tuhan
mengaitkannya dengan sebuah ayat dalam Quran: “Qul huwal qadiru ‘alaa an
yab’asta ‘alaikaum adzaaban min fauqikum au min tahti arjulikum au yalbisakum
syiyaa’an wayudziiqa ba’dhakum ba’sa ba’dhin; udzur kaifa nusharriful ayaati
la’allahum yafqahum.” (QS.6:65). 65. “Katakanlah Dialah yang berkuasa untuk
mengirimkan azab kepadamu, dari atas kamu atau dari bawah kakimu atau Dia
mencampurkan kamu dalam golongan-golongan (yang saling bertentangan) dan
merasakan kepada sebahagian kamu keganasan sebahagian yang lain. Perhatikanlah,
betapa Kami mendatangkan tanda-tanda kebesaran Kami silih berganti agar mereka
memahami".
Jika kita menyaksikan apa yang terjadi di Indonesia sekarang ini, memanglah
cocok dengan apa yang disinggung dalam ayat diatas. Coba perhatikan azab yang
datang dari atas seperti hujan, topan, angin putting beliung, petir dan lain
lain. Yang datang dari bawah seperti gempa bumi, banjir, tsunami, tanah longsor
dan sebagainya. Keparahan tersebut ditambah lagi dengan carut marutnya
kehidupan sosial kemasyarakatan kita, baik dari masyarakat agama, polotik,
ekonomi, semuanya berebut mencapai kepentingannya masing-masing bahkan banyak
yang berakhir dengan kebencian dan perpecahan. Jika musibah-musibah ini azab
–semoga tidak— maka yang wajib dilakukan terutama oleh umat Islam adalah
bershalawat—mencoba menghadirkan Rasulullah SAW— dan beristighfar memohon ampun
kepada Allah. Kenapa demikian? Sebab menurut al-Quran yang mampu menolak azab
Allah hanyalah kehadiran Rasulullah SAW dan istighfar (QS.8:33).
Sedangkan mereka yang menganggap musibah hanya sebagai gejala alam
biasa, biasanya akan membicarakan masalah upaya meningkatan penanganan bencana,
pendidikan sadar bencana kepada masyarakat, dan peningkatan manajemen prasarana
bantuan kepada para korban bencana.
Terlepas dari pendapat-pendapat terkait musibah yang bertubi-tubi
menimpa bangsa ini, kita sebagai pemilik sah
bangsa ini tentu prihatin dan berharap musibah-musibah itu
berhenti—meski kelihatannya mustahil—. Kita patut mengapresiasi semua pihak
yang dengan pendapat, sikap,daya pikir, dan keyakinan masing-masing mencoba
melakukan upaya-upaya menuju kesana. Mulai dari yang melakukan perbaikan diri,
perbaikan kinerja, taubat, muhasabah, mawas diri, meningkatkan majemen
penanganan bancana, bahkan sekedar bersabar dan berdoa. Mengapa? Sebab mereka
memiliki rasa tau diri, menyadari kepemilikannya, memikirkan dengan keyakinan
mereka, dan berbuat sesuatu untuk bangsanya.
Demikian lebih baik, daripada mereka yang hanya berdiam diri sambil
pamer kepintaran dengan menyalahkan pihak-pihak yang sudah berupaya sesuai kemampuan dan keyakinannnya.
Atau mereka yang sudah terbiasa mencari kambing hitam dalam setiap masalah,
bahkan mempermasalahkan masalah yang sebenarnya tidak perlu dipermasalahkan.