Senin, 15 Desember 2014

KITAB AL-FUTUHAT AL-RABBANIYYAH ‘ALA AL-ADZKAR AL-NAWAWIYYAH

Abstrak
Dalam sejarah perkembangan ilmu hadis, masa penyarahan kitab-kitab hadis disebut sebagai masa keemasan dan kematangan ulum al-hadis. Secara garis besar kitab-kitab syarah tersebut ingin memberikan penjelasan terhadap kitab-kitab hadis yang telah ada sebelumnya, dengan berbagai bentuk, corak, dan karakteristik yang bermacam-macam sesuai latar belakang pendidikan sang pengarang.
Imam Ibnu ‘Allan adalah seorang ulama yang ahli dalam berbagai bidang keilmuan, terutama ilmu hadis. Salah satu karyanya dalam bidang hadis yaitu kitab al-Futuhat al-Rabbaniyyah ‘ala al-Adzkar al-Nawawiyyah.Kitab al-Futuhat al-Rabbaniyyah ‘ala al-Adzkar al-Nawawiyyah adalah kitab syarah hadis dari kitab Hilyah al-Abrar wa Syi’ar al-Akhyar fi Talkhishi al-Da’awat wa al-Adzkar karya Imam al-Nawawi. Pembahasan kitab ini menjadi menarik, mengingat kitab al-Adzkar merupakan salah satu kitab yang dijadikan rujukan utama dalam berbagai amaliah dzikir sehari-hari, khususnya bagi kalangan syafi’iyyah. Terdapat satu kata kunci dari kitab syarah ini, bahwa Ibnu ‘Allan menggunakan metode tahlili untuk menjelaskan dan mengungkap makna perkata dari objek syarahannya. Sehingga penyarahan yang disuguhkan sangatlah mendetail, bahkan bukan redaksi hadisnya saja yang menjadi objek penyarahan, bab, fashal, dan kitab yang berfungsi sebagai tema besar juga menjadi objek penyarahan. Ketika menyarahi hadis, Ibnu ‘Allan menggabungkan berbagai bidang keilmuan yang dimilikinnya, meliputi; hadis, tafsir, fikih, tasawuf, dan bahasa. Dalam melakukan penyarahan, Ibnu ‘Allan menjelaskan hadis kata demi kata, kalimat demi kalimat secara berurutan, serta menerangkan asbab al-wurud, jika hadits yang disyarah memiliki asbab al-wurud, kemudian dijelaskan juga munasabat (hubungan) antara satu hadis dengan hadis lain dan suatu hadis dengan ayat al-Quran yang berkaitan. Meski menganut madzhab syafi’iyyah, Ibnu ‘Allan hanya menggunakan paradigma syafi’iyyah ketika menjelaskan hadis secara fiqhi. Namun, ketika menjelaskan masalah diluar fikih, ia banyak mengutip pendapat para ulama yang bermadzhab selian syafi’iyyah untuk menunjang penyarahannya.
Sejauh pembacaan penulis, ketika menyarahi hadis Ibnu ‘Allan terlihat tidak proporsional antara penjelasan satu dengan penjelasan yang lainnya. Misalnya ketika Ibnu ‘Allan menjelaskan rawi hadis, rawi satu terkadang dijelaskan secara panjang-lebar, namun rawi yang lain dijelaskan secara pendek dan ringkas. Kajian ini menjadi penting dan menarik karena beberapa alasan: pertama, kitab al-Futuhat al-Rabbaniyyah ‘ala al-Adzkar al-Nawawiyyah merupakan kitab syarah dari kitab al-Adzkar yang menjadi kitab acuan dalam berbagai amaliah dzikir orang Islam terlebih kalangan syafi’iyyah. Kedua, kajian ini akan menjadi sumbangan dalam dunia keilmuan terutama dalam bidang studi kitab syarah hadis, mengingat belum terdapat kajian yang membahas kitab al-Futuhat al-Rabbaniyyah ‘ala al-Adzkar al-Nawawiyyah secara khusus. Ketiga, Kitab al-Futuhat al-Rabbaniyyah ‘ala al-Adzkar al-Nawawiyyah merupakan kitab yang sangat kompleks penjelasannya, hal ini tidak terlepas dari latar belakang keilmuan Ibnu ‘Allan yang menguasai berbagai bidang keilmuan dan penulis berasumsi bahwa kitab ini telah memakai paradigma integrasi-interkoneksi keilmuan dalam penyarahannya.
BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Hadis merupakan sumber kedua ajaran Islam setelah kitab suci al-Quran.[1] Jelas sekali bahwa hadis berbeda dengan Al-quran yang periwayatannya secara mutawatir dan mendapat legitimasi langsung dari Allah mengenai keaslian dan keotentikannya. Periwayatan hadis masih memerlukan penelitian yang lebih intern terkait keaslian dan keotentikannya. Hadis baru terkodifikasi pada abad ketiga, padahal hadis itu sudah muncul sejak abad pertama. Dalam kurun waktu yang panjang tersebut penelitian sangatlah diperlukan. [2]
Seiring berjalannya waktu perkembangan hadis dan ilmu hadis telah menyebar ke berbagai penjuru dunia, baik itu melalui lisan maupun tulisan. Semakin berkembang sebuah hadis semakin memberikan jarak dari sumber aslinya. Oleh karena itu, para ulama’ berinisiatif menyusun hadis - hadis tersebut dalam sebuah kitab tersendiri. Dengan harapan bahwa kitab-kitab yang berisi berbagai macam hadis tersebut bisa bermanfaat dan dapat diamalkan umat muslim secara luas.
Telah banyak kitab-kitab hadis yang disusun oleh para ulama pada zaman dahulu hingga sekarang. Dengan berbagai macam jenis dan konten sesuai dengan latar belakang keilmuan masing-masing, yang hal tersebut nantinya akan berdampak pada metode, sistematika penulisan, konten, corak, dan lain sebagainya yang berbeda-beda. Setelah perkembangan kitab hadis yang begitu pesat tersebut, kemudian lahir era baru dalam dunia per- hadisan. Yaitu era syarah hadis, pada era ini muncul banyak tokoh-tokoh dan ulama’-ulama’ hadis yang menulis berbagai macam kitab syarah hadis. Kitab syarah ini menjadi sebuah tren baru dalam dunia perhadisan yang secara umum ingin menjelaskan kitab-kitan hadis yang telah ada sebelumnya.[3]
Diantara beberapa kitab syarah hadis tersebut, kitab Al-Futuhat al-Rabbaniyyah ‘ala al-Adzkar al-Nawawiyyah  karya Imam Ibnu ‘Allan yang menyarahi kitab Hilyah al-Abrar wa Syi’ar al-Akhyar fi Talkhishi al-Da’awat wa al-Adzkar karya dari Imam Muhyiddin Abi Zakaria Yahya al-Nawawi al-Syafi’i, merupakan salah satu kitab syarah hadis yang cukup menarik dikaji. Pertama, kitab yang menjadi kitab acuannya merupakan kitab hadis terkenal karangan Imam al-Nawawi yang sangat terkenal sebagai ulma’ ahli hadis khususnya dalam kalangan syafi’iyyah. Kedua, Selain penjelasan syarah-syarahnya yang komprehensif, kitab ini juga banyak mengutip pendapat atau fatwa dari ulama’-ulama’ sebelumnya dalam menjelaskan konten hadis didalamnya. Ketiga, Imam Ibnu ‘Allan sendiri adalah tokoh yang memiliki latar belakang pendidikan yang cukup lengkap, selain sebagai ahli hadis beliau juga dikenal ahli dalam berbagai ilmu pengetahuan, seperti; nahwu, sharaf, balaghah, sejarah, tashawuf, dst, dan background pendidikannya tersebut sangat terlihat ketika Imam Ibnu ‘Allan menyarahi hadis.  
Berdasarkan penjelasan diatas penulis tergugah untuk mengetahui dan meneliti lebih mendalam terkait kitab Al-Futuhat al-Rabbaniyyah ‘ala al-Adzkar al-Nawawiyyah karangan Imam Ibnu ‘Allan tersebut. Maka, dalam penelitian kali ini akan difokuskan pada  biografi pengarang kitab, pembahasan konten kitab, dan sistematika penulisan kitab tersebut.


B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana metode syarah hadis yang dilakukan oleh pengarang dalam kitab Al-Futuhat al-Rabbaniyyah ‘ala al-Adzkar al-Nawawiyyah?
2.      Bagaimana karakteristik dan sistematika kitab Al-Futuhat al-Rabbaniyyah ‘ala al-Adzkar al-Nawawiyyah?








BAB II
BIOGRAFI IBNU ‘ALLAN

Nama lengkap Ibnu ‘Allan adalah Muhammad Ali bin Muhammad ‘Allan bin Ibrahim  al-Bakri al-Shiddiqi al-Syafi’i.  Namaun, biasanya beliau lebih dikenal dengan sebutan Ibnu ‘Allan. Beliau ulama yang sangat masyhur, salah satu mufassirin (ulama ahli tafsir) dan a’immati al-muhadditsiin (Imam para ahli hadis). Beliau lahir di Makkah pada tahun  996H/1588M  , Wafat hari selasa siang akhir bulan dzul hijjah tahun 1057 H/1647M  dalam usianya yang ke-61. Dikebumikan di Ma’lah dekat dengan kuburan Syaikhu al-Islam Ibnu Hajar al-Makky. Selain ahli ilmu hadis, Ibnu ‘Allan juga ahli dalam bidang ilmu tafsir, tasawwuf, ushul fikih, sejarah, dan bahasa.[4]

Beliau tumbuh di Makkah dan mulai menghafal al-Quran dan belajar qiraat disana. Beliau juga menghafal berbagai matan kitab dan disiplin ilmu lainnya, tak ketinggalan juga beliau belajar fikih dari berbagai ulama dizamannya. Hafal al-Quran sudah sejak dini, hingga pada usia 18 tahun beliau sudah terkenal sebagai ahli qiraat dan pada usia 24 tahun beliau sudah menjadi mufti. Beliau mulai mengumpulkan dan mengarang beberapa kitab yang berkaitan dengan ilmu hadis, baik ilmu hadis riwayat maupun ilmu hadis dirayat. Beliau terkenal sebagai imam yang tsiqoh (terpercaya) dizamannya, baik dalam soal hafalan, ketakwaan dan dhobithnya ketika meneliti hadis - hadis Rosulillah SAW, sangat faham dengan ‘illat-illat (cacat)nya suatu hadis, validitas dan akurasinya juga sanad-sanad hadis yang beliau kaji.

Beliau serupa dengan Imam al-Jalil al-‘Allamah Jalaaluddin al-Suyuthi (mufassir, uhaddis dan faqih) dalam pengetahuannya mengenai hadis serta banyaknya kitab yang dikarang. al-Syekh Abdurrahman al-Khiyary mengatakan: ”Beliau (Ibnu ‘Allan) adalah Suyuthi di zamannya”. Banyak Ulama yang mengambil ilmu dari Imam besar ini dan menyarahnya hingga berjilid-jilid. Beliau pernah membaca kitab shaih bukhari didalam Ka’bah dalam beberapa hari saat pembangunan ka’bah kembali setelah sempat hancur terendam banjir besar yang terjadi pada tahun 1039 H. Menurut salah satu murid beliau al-Fadhil Muhammad al-Nablawy al-Dimyati beliau bermimpi bertemu Rosulullah SAW sedang membagi-bagi hadiah ke beberapa orang termasuk diantaranya adalah gurunya al-Syekh Ibnu ‘Allan.[5]

Diantara para ulama’ yang menjadi guru Ibnu ‘Allan  adalah; al-Syaikh Abdul al-Rahim bin Hasan al-Hanafi, Ahmad bin Ibrahim, Muhammad bin Muhammad bin Jarullah bin Fahad al-Hasyimi, al-Sayyid Umar bin Abdul al-Rahim al-Basri, Ubaidillah al-Khanjindi, Abdurrahman bin Muhammad al-Syarbini, al-Hasan al-Burini al-Dimasyqi, al-Syaikh Abdullah al-Nahrawi, Muhammad al-Hajazi.

Diantara karya-karya Ibnu ‘Allan, yaitu ; Dhiya’ al-Sabil, Syarah Qashidah Ibnu al-Muilaq wa Qashidah Abi Madyan, al-Fath al-Mustajad Libaghdad Bina’ al-Ka’bah, Dalilu al-Falihin Lituruqi Riyadhu al-Shalihin, al-Mawahib al-Fathiyyah ‘ala Thariqati al-Muhammadiyyah, al-Talatthuf  fi al-Wusul ila al-Ta’arruf, al-Futuuhat al-Rabbaniyyah al Adzkari al-Nawawiyyah, Raf’u al-Hashaish, Mutsiru Syauq al-Anam ila Hajji Baitillahi al-Haram, Ittihaful al-Fadhil  bi al-Fi’l al-Mabni Lighairi al-Faail.









BAB II
TENTANG KITAB AL-FUTUHAT AL-RABBANIYYAH ‘ALA AL-ADZKAR AL-NAWAWIYYAH


A.    Pengertian Syarah Hadis
Kata syarah (syarh) berasal dari bahasa Arab شرح – يشرح - شرحا  yang artinya menerangkan, membukakan, dan melapangkan.[6] Istilah syarh (pemahaman) biasanya digunakan untuk hadis, sedangkan tafsir untuk kajian Al-quran. Dengan kata lain, secara substansial keduanya sama (sama-sama menjelaskan maksud, arti atau pesan), tetapi secara istilah, keduanya berbeda. Istilah tafsir spesifik bagi Al-quran (menjelaskan maksud, arti, kandungan, atau pesan ayat Al-quran), sedangkan istilah syarah (syarh) meliputi hadis (menjelaskan maksud, arti, kandungan, atau pesan hadis) dan disiplin ilmu lain. [7]
Sedangkan secara istilah definisi syarah hadis adalah sebagai berikut:
شَرْحُ الْحَدِيْثِ هُوَ بَيَانُ مَعَانِي الْحَدِيْثِ وَاسْتِخْرَاجُ فَوَائِدِهِ مِنْ حُكْمٍ وَحِكْمَةٍ
Syarah hadis adalah menjelaskan makna-makna hadis dan mengeluarkan seluruh kandungannya, baik hukum maupun hikmah.
Definisi ini hanya menyangkut syarah terhadap matan hadis, sedangkan definisi syarah yang mencakup semua komponen hadis itu, baik sanad maupun matannya, adalah sebagai berikut:
شَرْحُ الْحَدِيْثِ هُوَ بَيَانُ مَايَتَعَلَّقُ بِالْحَدِيْثِ مَتْنًاوَسَنَدًا مِنْ صِحَّةٍ وَعِلَّةٍ وَبَيَانُ مَعَانِيْهِ وَاسْتِخْرَاجُ اَحْكَامِهِ وَحِكَمِهِ.
Syarah hadis adalah menjelaskan keshahihan dan kecacatan sanad dan matan hadis, menjelaskan makna-maknanya, dan mengeluarkan hukum dan hikmahnya.[8]
Dengan definisi di atas, maka kegiatan syarah hadis secara garis besar meliputi tiga langkah, sebagai berikut: pertama, menjelaskan kuantitas dan kualitas hadis, baik dari sisi sanad maupun dari sisi matan, dan baik global maupun rinci. Hal ini meliputi penjelasan tentang jalur-jalur periwayatannya, penjelasan identitas dan karakteristik para periwayatnya, serta analisis matan dari sisi kaidah-kaidah kebahasaan. Kedua, menguraikan makna dan maksud hadis. Hal ini meliputi penjelasan cara baca lafal-lafal tertentu, penjelasan struktur kalimat, penjelasan makna leksikal dan gramatikal serta makna yang dimaksudkan. Ketiga, mengungkap hukum dan hikmah yang terkandung di dalamnya. Hal ini meliputi istinbat terhadap hukum dan hikmah yang terkandung dalam matan hadis, baik yang tersurat maupun yang tersirat.[9]
Syarah hadis juga berarti meneliti, kemudian menjelaskan setiap komponen yang terdapat pada sebuah hadis. Secara umum, para ulama hadis menjelaskan ada dua komponen yang terdapat pada sebuah hadis yakni sanad dan matan. Sanad adalah rangkaian perawi yang memindahkan matan dari sumber primernya. Sedangkan matan adalah redaksi hadis yang menjadi unsur pendukung pengertiannya.[10]


A.    Latar Belakang Penulisan
Adapun asal-usul atau latar belakang penulisan kitab Al-Futuhat al-Rabbaniyyah ‘ala al-Adzkar al-Nawawiyyah adalah bahwa penulisan kitab tersebut merupakan cita-cita dari Ibnu ‘Allan itu sendiri. Karena sebenarnya Imam Ibnu ‘Allan sangat kagum terhadapa Imam al-Nawawi sang pengarang kitab al-Adzkar yang menjadi kitab syarahannya.
Jika dilihat lebih dalam akan ditemukan sebuah kesamaan dari Imam Ibnu ‘Allan dan Imam al-Nawawi, yaitu bahwa keduanya merupakan penganut madzhad syafi’i. Hal ini yang mungkin menjadikan  Imam Ibnu ‘Allan tertarik dan kagum terhadap Imam al-Nawawi. Bahkan bukan hanya orangnya yang ia kagumi, atau mungkin lewat kekagumannya terhadap Imam al-Nawawi tersebut yang mengantarkan Iman Ibnu ‘Allan untuk menyarahi kitab karyanya, dalam hal ini adalah kitab Hilyah al-Abrar wa Syi’ar al-Akhyar fi Talkhishi al-Da’awat wa al-Adzkar.
 Selain itu, penulisan kitab tersebut juga dimaksudkan sebagai wasilah atau amal shalih yang dilakukan oleh Ibnu ‘Allan agar mendapatkan keberuntungan di hari kiamat kelak dan sebagai modal besar untuk mendapatkan naungan Nabi Muhammad SAW sang pemberi naungan pada hari kiamat kelak.[11]
Dari alasan Imam Ibnu ‘Allan tersebut dapat penulis simpulkan bahwa Imam Ibnu ‘Allan memang benar-benar orang syafi’iyyah yang percaya akan syafaat Nabi Muhammad SAW kelak di hari kiamat. Lebih jauh lagi, Imam Ibnu ‘Allan mempercayai dan mempraktikkan secara terang-terangan praktik “wasilah” melalui kitab karyanya ini.Hal ini menunjukkan bahwa Imam Ibnu ‘Allan memanglah ulama’ hadis yang sangat teguh memegang ajaran madzhabnya.

B.     Sumber Penulisan
Kitab Al-Futuhat al-Rabbaniyyah ‘ala al-Adzkar al-Nawawiyyah merupakan kitab syarah hadis yang ditulis oleh Imam Ibnu ‘Allan atas kitab Hilyah al-Abrar wa Syi’ar al-Akhyar fi Talkhishi al-Da’awat wa al-Adzkar karya dari Imam Muhyiddin Abi Zakaria Yahya al-Nawawi al-Syafi’i . Karena kitab Al-Futuhat al-Rabbaniyyah ‘ala al-Adzkar al-Nawawiyyah adalah subuah kitab syarah hadis, maka yang menjadi sumber penulisan dari kitab tersebut adalah kitab yang disyarahinya yaitu kitab Hilyah al-Abrar wa Syi’ar al-Akhyar fi Talkhishi al-Da’awat wa al-Adzkar.
Sedangkan kitab Hilyah al-Abrar wa Syi’ar al-Akhyar fi Talkhishi al-Da’awat wa al-Adzkar itu sendiri adalah kitab hadis yang hadis-hadis didalamnya merupakan hasil ringkasan dari hadis-hadis yang terdapat dalam lima kitab pokok hadis, yaitu: Shahih al-Bukari, Shahih al-Muslim, Sunan Aabu Daud, Sunan al-Tirmidzi, dan Sunan al-Nasa’i. Selain itu, kitab Hilyah al-Abrar wa Syi’ar al-Akhyar fi Talkhishi al-Da’awat wa al-Adzkar tersebut tidak melakukan perubahan juz-juz dan sanad-sanad kecuali pada beberapa tempat yang asing. Demikian juga terkait masalah hadis-hadis yang dipilih dari kelima kitab pokok hadis diatas, hanya mengambil hadis-hadis yang shahih dan tidak mengambil hadis-hadis yang dhaif kecuali dengan menjelaskan alasan kedhaifannya.[12]
Perlu untuk diketahui bahwa kitab Hilyah al-Abrar wa Syi’ar al-Akhyar fi Talkhishi al-Da’awat wa al-Adzkar merupakan kitab hadis yang berisi tantang hadis-hadis yang berkaitan dengan wilayah dzikir dan hadis-hadis yang memuat bacaan-bacaan dzikir dalam berbagai situasi dan kondisi. Hal ini sesuai dengan judul kitab ini sendiri yang berarti “permata para orang shalih dan semboyan para orang pilihan dalam mensucikan doa-doa dan dzikir-dzikir” menunjukkan bahwa kitab tersebut disusun dengan konten isi berkenaan dengan lafadz-lafadz dzikir dan hal-hal ynag berkaitan dengannya.
Bukti lainnya adalah ketika kita melihat daftar isi dari kitab tersebut, maka akan terlihat dengan jelas bahwa kitab tersebut benar-benar memfokuskan pembicaran dalam  masalah dzikir. Terkait hai ini, akan penulis tunjukkan dalam pembahasan berikutnya lewat sebuah bagan sistematika penyusunan kitab Al-Futuhat al-Rabbaniyyah ‘ala al-Adzkar al-Nawawiyyah.
Imam al-Nawawi mengharapkan kitabnya Hilyah al-Abrar wa Syi’ar al-Akhyar fi Talkhishi al-Da’awat wa al-Adzkar tersebut menjadi sebuah kitab yang mu’tamad (otentik). Bahkan dalam kitabnya tersebut, beliau tidak menyebutkan hadis-hadis pada sebuah bab kecuali hadis-hadis tersebut secara jelas menunjukkan masalah yang perlu adanya penjelasan.[13]
Dapat dilihat dari penjelasan diatas bahwa Imam al-Nawawi sangatlah selektif dan teliti dalam memasukkan hadis-hadis dalam kitab karyanya. Bukan hanya hadis-hadis yang memiliki kualitas shahih saja yang dipinang untuk dimasukkan ke dalam kitabnya, melainkan juga hadis-hadis yang penting untuk dijelaskan dari segi redaksinya. Secara singkat dapat disimpulkan bahwa hadis-hadis yang telah tertera dalam kitbanya tersebut merupakan hadis-hadis pilihan dari Imam al-Nawawi.
Hal ini secara tersirat juga menjelaskan mengapa Imam Ibnu  ‘Allan memilih kitab al-Adzkar al-Nawawi menjadi kitab yang ia syarahi daripada kitab-kitab ulama’ syafi’iyyah lainnya. Karena Imam Ibnu  ‘Allan menyadari bahwa hadis-hadis yang dimasukkan oleh Imam al-Nawai dalam kitabnya adalah benar-benar hadis yang sudah disaring, dipilih, dan diperlukan untuk diketahui dan diamalkan pada nantinya.

C.    Metode Penulisan
Para ulama terdahulu telah banyak melakukan penafsiran terhadap hadis-hadis yang terdapat dalam berbagai kitab hadis, yakni dengan menulis kitab-kitab syarah. Meskipun kitab-kitab tersebut telah banyak disusun, tetapi upaya untuk melakukan metode yang digunakan oleh para ulama dalam penyusunan kitab-kitab syarah tersebut hampir tidak tersentuh.
Berdasarkan fakta-fakta diatas, mengetahui cara atau metode pemahaman hadis-hadis yang digunakan oleh para ulama dalam menyusun kitab syarah menjadi sebuah keniscayaan, hal tersebut diperoleh untuk memperoleh kerangka umum bangunan metodologis dalam pemahaman hadis.
Para penulis telah mempersembahkan karya-karya mereka dibidang syarah hadis. Jika karya-karya tersebut dicermati, maka dapat diklasifikasikan beberapa metode yang dipergunakan oleh para pensyarah. Metode-metode syarah yang dimaksud adalah metode tahlili, ijmali, muqorin dan maudlu’i.
Metode-metode ini diadopsi dari metode penafsiran al-quran dengan melihat karakter persamaan yang terdapat antara penafsiran al-quran dan penafsiran atau syarah hadis. Artinya metode penafsiran al-quran dapat diterapkan dalam syarah hadis dengan mengubah redaksi/kata al-quran menjadi hadis; tafsir mejadi syarah.[14]
Sedangkan menurut Dr. Utsman al-Khasyit yang beliau kemukakan dalam meneliti metode syarah hadis, ada empat model metode pengajaran guru hadis terhadap murid-muridnya, antara lain :
a.      Asy- Syarah at-tafshili (penjelasan terperinci )
Yang mana seorang guru membacakan hadis Nabi Saw. Kemudian berhenti sejenak untuk mengemukakan isnad dan nama rijalnya sesuai dengan kaidah al-jarhu wa at-ta’dil, lantas membicarakan persambungan atau keterputusannya dan menentukan keshahihan atau kedha’ifannya dengan menyebut letak kecacatannya (bila ditemukan).
b.      Asy- Syarah al-Wasith (penjelasan sederhana)
Yang mana seorang guru membacakan hadis nabi Saw. Yang kemudian diikuti beberapa penjelasan secukupnya tentang lafadz-lafadz yang asing (gharib) dan susunan kalimat yang terkait, kemudian secara singkat memberikan wacana tentang diterima atau di tolaknya suatu hadis.
c.       Asy-syarah al-Wajiz (penjelasan Ringkas)
yang mana seorang guru menyampaikan hadis cukup dengan menjelaskan hal-hal yang sulit dan tempat-tempat yang Musykil dengan menyebutkan beberapa pokok permasalahan yang ada di dalamnya dengan sangat ringkas.
d.      Al-Qira’an al-tatbi;iyyah (membaca ditirukan)
Yang mana seorang guru cukup dengan membacakan kitab hadis Nabi Saw dalam pelajran tertentu. Kemudian apa yang dibacakan guru tersebut diikuti oleh murid-muridnya dengan tanpa menjelaskan apa yang ada didalamnya.
Sedangkan Kitab Al-Futuhat al-Rabbaniyyah ‘ala al-Adzkar al-Nawawiyyah ini menggunakan metode yang pertama Asy- Syarah at-tafshili (penjelasan terperinci ) atau nama lainnya yaitu metode tahlili. Hal ini dapat dibuktikan dengan bentuk dan model  pensyarahannya yang disajikan perkata. Syarat dengan metode pensyarahan klasik terhadap hadis, yang pada masa itu kebanyakan pola pensyarahan masih menggunakan penjelasan secara oral (bil lisan).
Secara lebih lengkap metode syarah tahlili adalah menjelaskan hadis-hadis Nabi dengan memaparkan segala aspek yang terkandung dan menerangkan makna-makna yang tercakup didalamnya sesuai dengan kecenderungan dan keahlian pensyarah.[15]
Ciri-ciri umum dari metode tahlili ialah pensyarahan yang mengikuti metode ini dapat berbentuk ma’tsur (riwayat) / ra’yu (pemikiran rasional). Jika dicermati maka pensyarahan yang dilakukan mengikuti pola menjelaskan makna yang terkandung dalam hadis secar konprenhensif dan menyeluruh. Dalam melakukan pensyarahan, hadis dijelaskan kata demi kata, kalimat demi kalimat secara berurutan, serta menerangkan asbab al-wurud. Jika hadis yang disyarah memiliki asbab al-wurud, dijelaskan juga munasabat (hubungan) antara satu hadis dengan hadis lain. Serta diwarnai pula oleh kecenderungan dan keberpihakan pensyarah kepada salah satu madzhab tertentu.[16]

D.    Sistematika Penulisan Kitab
Imam Ibnu ‘Allan dalam penulisan kitab Al-Futuhat al-Rabbaniyyah ‘ala al-Adzkar al-Nawawiyyah merujuk berdasarkan urutan bab yang terdapat pada kitab al-Adzkar al-Nawawi. Jadi,  disini Imam Ibnu ‘Allan tidak melakukan adanya perubahan terhadap penyusunan kitab yang disyarahinya, beliau langsung terpaku dengan urutan bab yang telah ditetapkan oleh Imam al-Nawawi dalam kitab al-Adzkar-nya.
Kitab ini sendiri terdiri dari 7 jilid (versi pdf), sedangkan hadis-hadis yang dicantumkan didalamnya kurang-lebih berjumlah sebanyak 1.231 buah hadis. Imam Ibnu ‘Allan menghimpun matan-matan hadis secara runtut dan sitematis sesuai tema dalam satu pembahasan dan bab-bab tertentu. Adapun urutannya adalah sebagai berikut:[17]
No
Nama Kitab
Jilid
No. Hadis
Halaman
1.
Muqaddimah al-muhaqqiq
1
-
3
2.
Muqaddimah al-mushannif
1
-
7
3.
Syarah khudhbah wa muqaddimah al-adzkar
1
1
9
4.
Fashl fi al-amri bi al-ihklas wa husni al-niyyah
1
2
32
5.
Fashl fi ahwali ta’arrudh
1
12
91
6.
Fashl yukrahu qiraatu al-quran
2
136
170
7.
Kitab tilawah al-quran
3
303
154
8.
Fahl fi auqat
3
306
162
9.
Fashl fi adabi al-khatm
3
307
164
10.
Fashl fiman nama
3
112
169
11.
Fashl fi al-amri
3
313
169
12.
Kitab hamdullah
3
326
193
14.
Fashl al-shalah ‘ala rasulillah
3
329
203
15.
Kitab al-adzkar wa da’awat
3
341
234
16.
Kitab adzkar al-maradh wa al-maut
4
382
37
17.
Fashl fi isyarah il ba’dhi ma jara min al-thawa’in
4
450
108
18.
Kitab al-adzkar fi shalawat al-mahshushah
4
488
159
19.
Fashl fi al-takbir al-murassal
4
493
165
20.
Kitab al-adzkar al-shiyam
4
532
227
21.
Fashl al-du’at fi al-bait
4
547
269
22.
Kitab al-adzkar al-jihad
5
558
31
23.
Kitab adzkar al-musafir
5
585
65
24.
Kitab adzkar al-akl wa al-syarab
5
623
118
25.
Kitab al-salam wa la-isti’dzan
5
666
174
26.
Fashl fi al-mushafahah
5
732
256
27.
Fashl fi istijab thalab al-insan
5
744
266
28.
Fashl fi ma ‘athsa yahudi
6
762
20
29.
Kitab adzkar al-nikah
6
795
43
30.
Kitab al-asma’
6
814
67
31.
Kitab al-adzkar al-mutafarriqah
6
852
110
32.
Fashl annahu yanbaghi likulli mukallafin
6
979
222
33.
Fashl fi jawazi la’ni ashhabi al-ma’ashi
7
1035
38
34.
Kitab jami’ al-da’awat
7
1129
126
35.
Kitab fi adabi al-du’a
7
1174
153
36.
Kitab al-istighfar
7
1188
176


E.     Karakretistik dan Analisis Kitab
Pertama-tama sebelum masuk ke dalam pembahsan hadis yang akan disyarahi, hadis-hadis tersebut dikelompokkan sesuai dengan bab atau fashal yang menjadi tema besar dalam pembahasannya. Bahkan dalam kasus ini Imam Ibnu ‘Allan tidak serta-merta membiarkan tema besar tersebut tertulis sia-sia, ia menyarahi hadis-hadis yang terdapat pada kitab al-Adzkar bukan berawal  dari matan hadis itu sendiri melainkan ia memulai menyarahinya dari bab atau fashal yang menjadi payung tema dari hadis-hadis tersebut. Hal ini dapat kita lihat dalam contoh berikut ini;[18]
Dari contoh diats terlihat bahwa Imam Ibnu ‘Allan tidak main-main dalam usahanya menyarahi kitab al-Adzkar, bahkan dalam masalah fashal ia sudah memberikan penjelasan yang cukup lengkap dan mendetail. Bukan sekedar penjelasan singkat yang hanya sebagai pelengkap, tetapi penjelasan yang Imam Ibnu ‘Allan utarakan memang sangat jauh diatas sederhana dan mungkin bisa dikatakan masuk kategori lengkap.
Dalam contoh diatas Imam Ibnu ‘Allan mendahulukan pembahsan nahwu dan kebahasaan dari pada pembahasan term-term keilmuan yang lainnya dan ini menjadi ciri khas Imam Ibnu ‘Allan ketika penjelaskan sebuah kata secara tahlili. Imam Ibnu ‘Allan menjelaskan bahwa “fashal” atau kata yang menjadi serupanya seperti kitab, bab, far’u, dst bisa memiliki beberapa kedudukan (tarkib) dalam ilmu nahwu, yaitu; bisa menjadi khabar dari mubtada’ yang dibuang, bisa menjadi mubtada’ dari khabar yang dibuang, atau bisa menjadi khabar dharaf.
Selain penjelasan nahwu tersebut Imam Ibnu ‘Allan juga menjelaskan bahwa adanya pembagian fashal-fashal dimaksudkan untuk memudahkan para guru dalam menyampainkan materi pembelajarannya baik itu berkaitan dengan ilmu hadis ataupun yang berkaitan dengan ilmu-ilmu lainya dan memudahkan para murid untuk mengkaji materi-materi tersebut karena sudah dikelompokkan sesuai dengan tema besar yang yang menaunginya. Imam Ibnu ‘Allan juga mengutip komentar singkat Imam al-Zamakhsyari terkait dengan masalah ini:[19]
Imam al-Zamakhsyari menjelaskan bahwa ketika seorang qari’ telah mengkhatamkan suatu bab dari sebuah kitab kemudian ingin melanjutkan ke kitab yang lain, qari’ tersebut menuliskannya dan mengumpulkannya dalam sebuah pembahasan. Namun, jika qari’ tersebut ingin melanjutkan kitab tersebut ia akan memberi tanda dengan cara member garis pada pada akhir pembahsan, sehingga dapat dibedakan pemhasan yang satu dengan pembahsan yang lain. Kemudian Imam al-Zamakhsyari juga menganalogikannya dengan al-Quran yang terkumpul dalam bentuk surat-surat, juz-juz, dan per sepuluh juz.
Hal ini –tidak lain— dimaksudkan untuk mempermudah para guru dan murid dalam kegiatan belajar-mengajar. Jika tidak demikian, maka akan sangat memberatkan mereka dalam kegiatan belajar-mengajar, sebab jika sebuah pembahasan tidak dikelompokkan sesuai dengan tema, pembahasan tersebut akan melebar kemana-mana dan pembahasan tersebut tidak akan bisa focus. Maka dengan adanya fashal-fashal tersebut diharapkan bisa membatasi melebarnya pembahasan yang akan dikaji oleh para guru dan murid tersebut.
Kemudian sebelum masuk kedalam konten redaksi hadis, akan disebutkan terlebih dahulu ayat al-Quran yang berkaitan dengan redaksi atau isi dari hadis-hadis tersebut. Disini Imam Ibnu ‘Allan juga menyebutkan secara singkat tafsir dari ayat al-Quran tersebut, seperti contoh berikut ini;[20]
Imam Ibnu ‘Allan menjelaskan bahwa berdasarkan QS. al-Bayyinah (5) ini para ulama’ ahli sunnah berpendapat bahwa sesungguhnya esensi dari ibadah bukanlah untuk memperoleh pahala dan menjauhkan diri dari api neraka dan siksa dari Allah SWT, akan tetapi ibadah untuk menjalankan hak ketuhanan dan mendirikan derajat keibadahan. Berdasarkan yat ini pula, Imam al-Suyuti melakukan istinbath hukum sehingga didapat sebuah kesimpulan bahwa niat itu wajib hukumnya dalam setiap menjalankan ibadah, sebab keikhlasan tidaklah ada kecuali bersamaan dengan adanya niat itu sendiri.
Selanjutnya Imam Ibnu ‘Allan menjelaskan tentang makna ibadah itu sendiri, ia menuturkan bahwa ibadah adalah sebutan untuk ketaatan kepada Allah secara tunduk dan merendahkan diri kepada Allah dan merupakan puncak pengagungan kepada Allah SWT. Para al-‘Arifun berpendapat bahwa meskipun demikian ada juga orang beribadah dengan bertujuan untuk memperoleh pahala dan menghindarkan diri dari siksa neraka, dan ini menurut mereka dapat menurunkan derajat ibdah itu sendiri.
Langkah selanjutnya yang diambil oleh Imam Ibnu ‘Allan ialah menjelaskan sanad hadit yaitu berupa para perawi hadis, dan lewat penjelasanya tersebut sekaligus membuktikan bahwa kitab al-Adzkar yang menjadi kitab rujukan syarah Al-Futuhat al-Rabbaniyyah ‘ala al-Adzkar al-Nawawiyyah hanya memuat hadis-hadis yang shahih saja dan beberapa hadis dhaif disertai dengan penjelasannya. Imam Ibnu ‘Allan mencoba membuktikannya dengan menyebutkan jarh wa ta’dil dari para rawi yang meriwayatkan hadis tersebut, seperti berikut ini:[21]
Jika diperhatikan dari contoh diatas, dapat diperoleh kesimpulan bahwa Imam Ibnu ‘Allan tidak proporsional dalam memberikan penjelasan terhadap setiap rawi. Dalam rawi Muhammad bin Ibrahim al-Taimi, Imam Ibnu ‘Allan hanya menjelaskan perihal julukannya saja kenapa disebut dengan al-Taimi. Julukan tersebut dinisbatkan kepada sebuah tempat bernama Taim, tanpa menjelaskan jarh wa ta’dil-nya.
Namun kemudian ketika Imam Ibnu ‘Allan menjelaskan rawi ‘Alqamah bin Waqqash al-Laisti penjelasannya lebih terlihat lengkap daripada ketika ia menjelaskan Muhammada bin Ibrahim al-Taimi. Menurut al-Hafidz Ibnu Hajar al-‘Asqalani dalam kitab Taqribnya lafadz “waqqash” menggunakan tasydid. ‘Alqamah sendiri memiliki julukan al-Laisti al-Madani dan masuk dalam kategori tsiqqah tsubut. Dikatakan bahwa ia termasuk dalam kategori shahabat yang dilahirkan pada masa Nabi dan wafat pada masa khalifah Abdul Malik. Dapat dilihat bahwa penjelasan terkait rawi ‘Alqamah bin Waqqash al-Laisti penjelasannya lebih terlihat lengkap daripada ketika ia menjelaskan Muhammada bin Ibrahim al-Taimi. Terdapat nisbah julukan yang disandang oleh Alqamah, terdapat juga sejarah singkat tentangnya seperti kelahiran dan kewafatannya. Dan yang menjadi penting untuk membuktikan bahwa rawi ini ta’dil ialah dengan menyebutkan bahwa ia masuk dalam kategori tsiqqah tsubut.
Contoh lainnya yang menunjukkan ketidak proporsionalan Imam Ibnu ‘Allan ketika menjelaskan rawi hadis ialah ketika beliau memaparkan  penjelasan tentang ‘Umar bin Khattab berikut ini:[22]
Ketika sebelumnya  Imam Ibnu ‘Allan memperlihatkan ketidak proporsionalannya dalam menjelaskan al-Taimi dan al-Laitsi kali ini beliau kembali meunjukkan hal tersebut ketika berbicara tentang Umar. Ketika menjelaskan Umar, Imam Ibnu ‘Allan terlihat lebih memiliki banyak bahan sehingga penjelasannya pun lebih komprehensif dari kedua rawi sebelumnya.
Umar bin Khattab merupakan khalifah yang kedua, memiliki julukan amirul mu’minin, ia adalah keturunan dari orang Quraisy. Kunyahnya adalah Abi Hafsh, itu merupakan bahasa singa. Laqabnya adalah al-Faruq untuk membedakan antar yang haq dan yang batil. Umar masuk islam setelah 40 orang laki-laki dan 11 orang perempuan pada tahun ke-6 kenabian. Ia diangkat menjadi kahlifah pada hari wafatnya Abu Bakar, yiatu pada tahun ke-13H. Sedangkan ia sendiri wafat diatangan seorang nasrani bernama Abi Lu’luah pada hari rabu keempat bulan dzulhijjah pada tahun 23H dalam usianya yang ke-63. Umar dimakamkan berdampingan dengan Nabi Muhammad SAW dan Abi Bakar di rumah ‘Aisyah.
Dari berbagia penjelasan yang coba Imam Ibnu ‘Allan paparkan, mulai dari judul atau tema hadis, ayat-ayat al-Quran yang terkait dengan tema hadis, dan perawi dari hadis-hadis tersebut terdapat corak khas yang dipakai oleh Imam Ibnu ‘Allan ketika menjelaskan hal-hal tersebut adalah dominasi penjelasan nahwunya. Dari ketiga hal itu, semuanya tersentuh dengan penjelasan nahwiyyah. Berdasarkan bukti tersebut, dapat penulis katakan bahwa selain ilmu hadis, ilmu nahwu adalah ilmu yang menjadi kegemaran atau favorit dari  Imam Ibnu ‘Allan. Seperti yang telah dipaparkan dalam poin biografi sebelumnya bahwa Imam Ibnu ‘Allan ahli dalam berbagai ilmu seperti: al-Quran, hadis, nahwu, sharaf, sejarah, fiqih, tashawwuf, filsafat, dst akan  tetapi berdasarkan bukti yang tampak dari model pensyarahannya tersebut dapat dipastikan bahwa dominasi keilmuan Imam Ibnu ‘Allan adalah hadis dan nahwu. Ini menunjukkan bahwa al-Syaikh abdurrahim al-Hasan sebagai guru nahwu, ‘arudh, ma’ani, dan bayan adalah guru yang paling mempengaruhi model dan corak pensyarahan yang telah dilakukan Imam Ibnu ‘Allan.
Dalam pensyarahan yang dilakukan oleh Imam Ibnu ‘Allan ketika menjelaskan maksud dari setiap kata yang terdapat dalam redaksi hadis, penjelasannya terlihat cukup lengkap dan kaya akan muatan-muatan keilmuan. Dan muatan-muatan tersebut tidak bisa dilepaskan dari historisitas keilmuan Imam Ibnu ‘Allan itu sendiri, seperti; nahwu, fiqih, tafsir, tashawwuf, dst. Seperti ketika Imam Ibnu ‘Allan mencoba menjelaskan kata “niyyat” berikut ini : [23]
Jika diamati lebih dalam—lawan dari singkat—, maka akan ditemukan beberapa pokok poin penting yang dipakai Imam Ibnu ‘Allan dalam melakukan penjelasan terhadap syarah tafshili yang ia lakukan dalam kitab Al-Futuhat al-Rabbaniyyah ‘ala al-Adzkar al-Nawawiyyah-nya. Secara garis besar beberapa pokok poin penting itu dapat dibagi sebagai berikut:
Pertama, penjelsan kebahasaan. Hal ini sudah sedikit dijelaskan pada keterangan sebelumnya yang mengatakna bahwa selain ilmu hadis itu sendiri Imam Ibnu ‘Allan sangat menggandrungi ilmu nahwu, bayani, ma’ani. Hal ini tidak terlepas dari peran gurunya yaitu al-Syekh Abdrrahim bin Hasan al-Hanafi. Inilah yang menyebabkan mengapa penjelasan kebahasaan selalu menempati tempat pertama ketika Imam Ibnu ‘Allan ingin menjelaskan makna perkata dari kata-kata tersebut.  Dalam kasus “niyyat” tersebut dijelaskan bahwa terdapat sebuah riwayat yang menyatakan adanya perbedaan redaksi terkait redaksi yang terdapat pada hadis tersebut, yaitu menggunakan kata niyyah (bentuk mufrad) dan riwayat yang berbeda tersebut juga kuat kualitasnya. Lebih lanjut Imam Ibnu ‘Allan menjelaskan bahwa lafadz niyyah adalah bentuk isim masdar dari fi’il madhi “nawa”.
Kedua, penjelasan fiqih. Imam Ibnu ‘Allan memang dikenal tidak hanya menguasai ilmu hadis dan bahasa, namun juga ahli dalam ilmu fiqih. Dalam kasus “niyyat” diatas dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan niyyat adalah menginginkan sesuatu maksud bersamaan dengan pekerjaan yang dilakukan. Kecuali dalam kasus seperti puasa dan zakat (tidak harus bersamaan) karena akan menyulitkan orang yang melakukannya. Sedikit penjelasan tersebut mengindikasikan keahlian Imam Ibnu ‘Allan dalam kajian ilmu fiqih, dan ia tidak melulu panjang-lebar membicarakan masalah kebahasaan dan lupa untuk menjelaskan poin-poin penting lainnya yang dibutuhkan untuk mendapatkan pemahaman yang lebih komprehensif.
Ketiga. penjelasan “munasabah”. Pada poin ketiga kali ini penulis maksudkan dengan penjelasan dengan cara mengaitkan tema hadis dengan ayat-ayat al-Quran dan hadis-hadis lainnya yang berkaitan. Ada kalanya ayat-ayat yang dipakai untuk munasabah ialah ayat-ayat yang telah disebutkan dalam judul besar sebelumnya atau mungkin ayat-ayat baru yang berbeda dengan ayat-ayat yang tertera pada judul besar sebelumnya. Seperti dalam penjelasan berikut :
Terdapat 3 ayat munasabah yang dipakai dalam penjelasan kali ini, yaitu; Ali Imran (24), al-Shaf (3), al-Mumtahanah (10), dan kebetulan ketiga ayat tersebut berbeda dengan ayat terdapat pada judul besar sebelumnya, yaitu; al-Bayyinah (5) dan al-Hajj (37). Ayat-ayat tersebut memaparkan bahwa manusia diuji dengan syahwat berupa wanita, dan wanita itu adalah syahwat terdahsyat. Keteranagan ini berkaitan dengan redaksi hadis yang membicarakan tentang niat hijrahnya seseorang laki-laki karena ingin menikahi seorang perempuan yang disukainya.Untuk hadis munasabah Imam Ibnu ‘Allan mengutip sebuah hadis Nabi yang artinya; “aku tidak meninggalkan  pasca kewafatanku sebuah fitnah yang lebih berbahaya bagi laki-laki kecuali perempuan”. Disini menunjukkan bahwa Imam Ibnu ‘Allan menggunakan teori inter-tekstualitas dalam memahami sebuah teks, dalam kasus ini adalah teks hadis tentang niat.
Selain penjelasan syarahnya yang begitu kompleks, Imam Ibnu ‘Allan juga sering ditemukan mengutip perkataan para ulama’ ketika menjelaskan maksud hadis. Namun, kutipan-kutipan tersebut tidak terdapat dalam setiap pembahasan, kutipan-kutipan tersebut hanya diketemukan pada pembahasan-pembahasan yang menurut Imam Ibnu ‘Allan sebagai pembahasan yang memilki hubungan dan kaitan dengan pembahasan hadis yang sedang disyrahinya. Seperti contoh berikut ini:[24]
Kutipan diatas berbentuk nadzam atau syi’ir yang berasal dari Abu al-Hasan Thahir bin al-Mafuz yang menjelaskan bahwa terdapat 4 perkara yang menjadi tiangnya manusia, yaitu; takutlah pada hal-hal syubhat, zuhudlah kepada dunia, tinggalkanlah hal-hal yang tidak bermanfaat bagimu, dan beramallah dengan niat. Kutipan ini diambil guna dijadikan penguat terhadap keterangan sebelumnya yang menjelaskan bahwa hadis tentang niat tersebut merupakan salah satu hadis yang menjadi poros dalam Islam. Adapun mengenai ada berapakah poros Islam tersebut ulama’ berbeda pendapat, menurut Abu al-Hasan Thahir bin al-Mafuz poros Islam tersebut ada 4 perkara seperti keterangan diatas. Yang pasti adalah bahwa niat adalah poin yang menjadai salah satu dari poros Islam tersebut.
Ketika mengutip pendapat para ulama’, Imam Ibnu ‘Allan terkadang menyajikannya dalam bentuk syi’ir seperti contoh diatas. Namun, juga banyak ditemukan kutipan-kutipan tersebut dalam bentuk susunan kalimat seperti biasa. Seperti contoh berikut ini:[25]
Disana Imam Abu Daud berkomentar bahwa hadis niat tersebut merupakan setengah dari ilmu. Kemudian disusul dengan komentar Imam Syafi’i yang tidak jauh berbeda dengan komentar Abu Daud bahwa dalam hadis niat tersebut termuat setengah dari ilmu karena niat tidak bisa dilepaskan dari amal hati (batiniyyah) dan amal anggota badan (lahiriyyah) itu sendiri. Bahkan niat lebih suci dan lebih utama, ia merupakan pokok dan setengah dari ilmu.
Disini terlihat bahwa Imam Ibnu ‘Allan disamping mengutarakan pendapatnya sendiri terkait dengan penjelasan hadis, ia menambahkan keterangan-keterangan dengan mengutip pendapat para ulama untuk menguatkan dan memeperkaya penjelasan yang telah sedemikian rupa ia susun demi mendapatkan pemahamn yang lebih lengkap dan menyeluruh. Hal ini tidak bisa terlepas dengan tradisi keilmuan pada saat itu yang masih mengandalkan tradisi oral dalam penyampaian ilmu dan Imam Ibnu ‘Allan masih melestarikan cara tersebut lewat kitab Al-Futuhat al-Rabbaniyyah ‘ala al-Adzkar al-Nawawiyyah-nya ini.



BAB IV
KELEBIHAN DAN KEKURANGAN
Dalam setiap hal tentunya terdapat kelebihan dan kekurangan yang menyertainya, tidak jauh berbeda dengan kitab Al-Futuhat al-Rabbaniyyah ‘ala al-Adzkar al-Nawawiyyah kali ini. Sejauh pengamatan penulis, dalam kajian terhadap kitab Al-Futuhat al-Rabbaniyyah ‘ala al-Adzkar al-Nawawiyyah terdapat beberapa kelebihan dan kekurangan, yang akan dijelaskan dan diungkap secara ringkas pada penjelasan selanjutnya.
Adapun kelebihan dari Kitab Al-Futuhat al-Rabbaniyyah ‘ala al-Adzkar al-Nawawiyyah ini diantaranya adalah :
a.       Kitab yang disusun dengan metode tahlili seperti ini mempermudah bagi para pembaca karena dengan ini pembaca tahu lebih banyak tentang kosa-kata bahasa arab ini.
b.      Memilih mengambil hadis-hadis yang shahih dari kelima kitab rujukan yang digunakan oleh kitab yang disyarahinya, serta menambahkan beberapa hadis dhaif yang dirasa penting penjelasannya lengkap dengan alasan kedhaifannya. Serta banyak mengutip pendapat ulama’ yang memperkuat konten syarahnya.
c.       Sistematika penulisan yang sama dengan kitab yang disyarahi menjadikan pembaca lebih mudah untuk mengecek ulang, merujuk, dan mengkonfirmasi semua informasi yang dijelaskan dalam kitab Al-Futuhat al-Rabbaniyyah ‘ala al-Adzkar al-Nawawiyyah tersebut.
Adapun kekurangan dari kitab Al-Futuhat al-Rabbaniyyah ‘ala al-Adzkar al-Nawawiyyah ini, diantaranya adalah :
a.       Penjelasan yang begitu kompleks menjadikan pembaca kurang bisa menangkap maksud hadis secara langsung, bahkan pembaca terlebih dahulu harus menyimak penjelasan yang begitu luas dan panjang hanya untuk memahami satu hadis saja.
b.      Imam Ibnu ‘allan tidak menyertakan sumber kitab ketika beliau mengutip pendapat para ulama’, hal ini menyulitkan pembaca ketika akan melakukan recheck terhadap informasi yang dipaparkan.
c.       Ketika menjelaskan para perawi hadis, selalu berbeda antara perawi yang satu dengan perawi lainnya. Terkadang sangat panjang penjelasannya, dan tidak jarang sangat singkat penjelasannya.



DAFTAR ISI
‘Allan, Muhammad Ali bin Muhammad ibnu. Al-Futuhat al-Rabbaniyyah ‘ala al-Adzkar al-Nawawiyyah. (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Alamiyyah). Tqq:  Abdul Mun’im Khalil Ibrahim.
al-Manzhur, Muhammad bin Mukarram bin al-Afriqi al-Mishri. Lisan al-‘Arab. (Beirut: Dar Shadir, t.t)
al-Khatib, Ajjaj. Ushul al-Hadis Ulumuh wa Musthalahuh. (Beirut: Dar al-Fikr, 1989)

al-Khatib,  Ajaj. Ushul al-Hadis. (Jakarta: GMP, 2007).
al-Shiddiqi, Muhammad Hasbi. Sejarah Perkembangan Hadis. (Jakarta: Bulan Bintang, 1980)

Ali, Nizar. Memahami Hadis Nabi. (Yogyakarta: CESaD YPI Al-Rahman, 2001).
Ali, Nizar. (Ringkasan Desertasi) Kontribusi Imam Nawawi dalam Penulisan Syarh Hadis, (Yogyakarta. 2007).
Nurkholis, Mujiono. Metodologi Syarah Hadist. (Bandung: Fasygil Grup, 2003).







[1] Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadis Ulumuh wa Musthalahuh (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), hlm.34.
[2] Hasbi al-Shiddiqi, Sejarah Perkembangan Hadis, (Jakarta: Bulan Bintang, 1980), hlm. 72.
[3] Ibid, hlm.113-123.
[4] Muhammad Ali bin Muhammad ibnu ‘Allan, Al-Futuhat al-Rabbaniyyah ‘ala al-Adzkar al-Nawawiyyah, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Alamiyyah), Tqq.  Abdul Mun’im Khalil Ibrahim, hlm.6.
[6] Muhammad bin Mukarram bin al-Manzhur al-Afriqi al-Mishri, Lisan al-‘Arab, (Beirut: Dar Shadir, t.t), Jilid II, hlm. 497-498.

[7] Nizar Ali, (Ringkasan Desertasi) Kontribusi Imam Nawawi dalam Penulisan Syarh Hadis, (Yogyakarta, 2007), hlm. 4.

[8] Mujiono Nurkholis, Metodologi Syarah Hadist, (Bandung: Fasygil Grup, 2003), hlm. 3
[9] Ibid, hlm. 4.
[10] Ajaj al-Khatib, Ushul al-Hadis, (Jakarta: GMP, 2007), hlm. 12
[11] Muhammad Ali bin Muhammad ibnu ‘Allan, Al-Futuhat al-Rabbaniyyah ‘ala al-Adzkar al-Nawawiyyah, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Alamiyyah), Tqq.  Abdul Mun’im Khalil Ibrahim, hlm.8.
[12] Ibid, hlm.25-28.
[13] Ibid, hlm.29.
[14] Nizar, Ali, Memahami Hadis Nabi, (Yogyakarta: CESaD YPI Al-Rahman, Cet ke-1, 2001), hlm. 28.
[15] Ibid, hlm. 29.
[16] Ibid, hlm. 30.
[17] Muhammad Ali bin Muhammad ibnu ‘Allan, Al-Futuhat al-Rabbaniyyah ‘ala al-Adzkar al-Nawawiyyah, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Alamiyyah), Tqq.  Abdul Mun’im Khalil Ibrahim.
[18] Muhammad Ali bin Muhammad ibnu ‘Allan, Al-Futuhat al-Rabbaniyyah ‘ala al-Adzkar al-Nawawiyyah, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Alamiyyah), Tqq.  Abdul Mun’im Khalil Ibrahim, jilid. 1,  hlm. 32.

[19] Ibid, hlm. 32.
[20] Ibid, hlm. 32-33.
[21] Ibid, hlm. 34.
[22] Ibid, hlm. 34.
[23] Muhammad Ali bin Muhammad ibnu ‘Allan, Al-Futuhat al-Rabbaniyyah ‘ala al-Adzkar al-Nawawiyyah, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Alamiyyah, Tqq.  Abdul Mun’im Khalil Ibrahim. jilid. 1, hlm. 35.

[24] Muhammad Ali bin Muhammad ibnu ‘Allan, Al-Futuhat al-Rabbaniyyah ‘ala al-Adzkar al-Nawawiyyah, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Alamiyyah, Tqq.  Abdul Mun’im Khalil Ibrahim. jilid. 1, hlm. 96.
[25] Muhammad Ali bin Muhammad ibnu ‘Allan, Al-Futuhat al-Rabbaniyyah ‘ala al-Adzkar al-Nawawiyyah, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Alamiyyah), Tqq.  Abdul Mun’im Khalil Ibrahim. jilid. 1, hlm. 96.