Abstrak
Dalam sejarah perkembangan ilmu hadis, masa penyarahan kitab-kitab
hadis disebut sebagai masa keemasan dan kematangan ulum al-hadis. Secara
garis besar kitab-kitab syarah tersebut ingin memberikan penjelasan terhadap
kitab-kitab hadis yang telah ada sebelumnya, dengan berbagai bentuk, corak, dan
karakteristik yang bermacam-macam sesuai latar belakang pendidikan sang
pengarang.
Imam Ibnu ‘Allan adalah seorang ulama yang ahli dalam berbagai
bidang keilmuan, terutama ilmu hadis. Salah satu karyanya dalam bidang hadis
yaitu kitab al-Futuhat al-Rabbaniyyah ‘ala al-Adzkar al-Nawawiyyah.Kitab
al-Futuhat al-Rabbaniyyah ‘ala al-Adzkar al-Nawawiyyah adalah kitab
syarah hadis dari kitab Hilyah al-Abrar wa Syi’ar al-Akhyar fi Talkhishi
al-Da’awat wa al-Adzkar karya Imam al-Nawawi. Pembahasan kitab ini menjadi
menarik, mengingat kitab al-Adzkar merupakan salah satu kitab yang
dijadikan rujukan utama dalam berbagai amaliah dzikir sehari-hari, khususnya
bagi kalangan syafi’iyyah. Terdapat satu kata kunci dari kitab syarah
ini, bahwa Ibnu ‘Allan menggunakan metode tahlili untuk menjelaskan dan
mengungkap makna perkata dari objek syarahannya. Sehingga penyarahan yang
disuguhkan sangatlah mendetail, bahkan bukan redaksi hadisnya saja yang menjadi
objek penyarahan, bab, fashal, dan kitab yang berfungsi
sebagai tema besar juga menjadi objek penyarahan. Ketika menyarahi hadis, Ibnu
‘Allan menggabungkan berbagai bidang keilmuan yang dimilikinnya, meliputi;
hadis, tafsir, fikih, tasawuf, dan bahasa. Dalam melakukan penyarahan, Ibnu
‘Allan menjelaskan hadis
kata demi kata, kalimat demi kalimat secara berurutan, serta menerangkan asbab
al-wurud, jika hadits yang disyarah memiliki asbab
al-wurud, kemudian dijelaskan juga munasabat (hubungan) antara satu hadis dengan hadis lain
dan suatu hadis dengan ayat al-Quran yang berkaitan. Meski menganut madzhab syafi’iyyah, Ibnu ‘Allan hanya menggunakan
paradigma syafi’iyyah ketika menjelaskan hadis secara fiqhi.
Namun, ketika menjelaskan masalah diluar fikih, ia banyak mengutip pendapat
para ulama yang bermadzhab selian syafi’iyyah untuk menunjang
penyarahannya.
Sejauh pembacaan penulis, ketika menyarahi hadis Ibnu ‘Allan
terlihat tidak proporsional antara penjelasan satu dengan penjelasan yang
lainnya. Misalnya ketika Ibnu ‘Allan menjelaskan rawi hadis, rawi satu
terkadang dijelaskan secara panjang-lebar, namun rawi yang lain dijelaskan
secara pendek dan ringkas. Kajian ini menjadi penting dan menarik karena
beberapa alasan: pertama, kitab al-Futuhat al-Rabbaniyyah ‘ala al-Adzkar
al-Nawawiyyah merupakan kitab syarah dari kitab al-Adzkar yang
menjadi kitab acuan dalam berbagai amaliah dzikir orang Islam terlebih
kalangan syafi’iyyah. Kedua, kajian ini akan menjadi sumbangan dalam
dunia keilmuan terutama dalam bidang studi kitab syarah hadis, mengingat belum
terdapat kajian yang membahas kitab al-Futuhat al-Rabbaniyyah ‘ala al-Adzkar
al-Nawawiyyah secara khusus. Ketiga, Kitab al-Futuhat
al-Rabbaniyyah ‘ala al-Adzkar al-Nawawiyyah merupakan kitab yang sangat
kompleks penjelasannya, hal ini tidak terlepas dari latar belakang keilmuan
Ibnu ‘Allan yang menguasai berbagai bidang keilmuan dan penulis berasumsi bahwa
kitab ini telah memakai paradigma integrasi-interkoneksi keilmuan dalam
penyarahannya.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Hadis merupakan sumber kedua ajaran Islam setelah kitab suci al-Quran.[1]
Jelas sekali bahwa hadis berbeda dengan Al-quran yang periwayatannya secara mutawatir
dan mendapat legitimasi langsung dari Allah mengenai keaslian dan
keotentikannya. Periwayatan hadis masih memerlukan penelitian yang lebih intern
terkait keaslian dan keotentikannya. Hadis baru terkodifikasi pada abad ketiga,
padahal hadis itu sudah muncul sejak abad pertama. Dalam kurun waktu yang
panjang tersebut penelitian sangatlah diperlukan. [2]
Seiring berjalannya waktu perkembangan hadis dan ilmu hadis telah
menyebar ke berbagai penjuru dunia, baik itu melalui lisan maupun tulisan. Semakin
berkembang sebuah hadis semakin memberikan jarak dari sumber aslinya. Oleh
karena itu, para ulama’ berinisiatif menyusun hadis - hadis tersebut dalam
sebuah kitab tersendiri. Dengan harapan bahwa kitab-kitab yang berisi berbagai
macam hadis tersebut bisa bermanfaat dan dapat diamalkan umat muslim secara
luas.
Telah banyak kitab-kitab hadis yang disusun oleh para ulama pada
zaman dahulu hingga sekarang. Dengan berbagai macam jenis dan konten sesuai
dengan latar belakang keilmuan masing-masing, yang hal tersebut nantinya akan
berdampak pada metode, sistematika penulisan, konten, corak, dan lain
sebagainya yang berbeda-beda. Setelah perkembangan kitab hadis yang begitu
pesat tersebut, kemudian lahir era baru dalam dunia per- hadisan. Yaitu era
syarah hadis, pada era ini muncul banyak tokoh-tokoh dan ulama’-ulama’ hadis yang
menulis berbagai macam kitab syarah hadis. Kitab syarah ini menjadi sebuah tren
baru dalam dunia perhadisan yang secara umum ingin menjelaskan kitab-kitan hadis
yang telah ada sebelumnya.[3]
Diantara beberapa kitab syarah hadis tersebut, kitab Al-Futuhat
al-Rabbaniyyah ‘ala al-Adzkar al-Nawawiyyah karya Imam Ibnu ‘Allan yang menyarahi kitab
Hilyah al-Abrar wa Syi’ar al-Akhyar fi Talkhishi al-Da’awat wa al-Adzkar
karya dari Imam Muhyiddin Abi Zakaria Yahya al-Nawawi al-Syafi’i, merupakan
salah satu kitab syarah hadis yang cukup menarik dikaji. Pertama, kitab
yang menjadi kitab acuannya merupakan kitab hadis terkenal karangan Imam
al-Nawawi yang sangat terkenal sebagai ulma’ ahli hadis khususnya dalam
kalangan syafi’iyyah. Kedua, Selain penjelasan syarah-syarahnya yang
komprehensif, kitab ini juga banyak mengutip pendapat atau fatwa dari
ulama’-ulama’ sebelumnya dalam menjelaskan konten hadis didalamnya. Ketiga,
Imam Ibnu ‘Allan sendiri adalah tokoh yang memiliki latar belakang pendidikan
yang cukup lengkap, selain sebagai ahli hadis beliau juga dikenal ahli dalam
berbagai ilmu pengetahuan, seperti; nahwu, sharaf, balaghah, sejarah, tashawuf,
dst, dan background pendidikannya tersebut sangat terlihat ketika Imam
Ibnu ‘Allan menyarahi hadis.
Berdasarkan penjelasan diatas penulis tergugah untuk mengetahui dan
meneliti lebih mendalam terkait kitab Al-Futuhat al-Rabbaniyyah ‘ala
al-Adzkar al-Nawawiyyah karangan Imam Ibnu ‘Allan tersebut. Maka, dalam
penelitian kali ini akan difokuskan pada biografi pengarang kitab, pembahasan konten
kitab, dan sistematika penulisan kitab tersebut.
B. Rumusan
Masalah
1. Bagaimana metode syarah hadis yang
dilakukan oleh pengarang dalam kitab
Al-Futuhat al-Rabbaniyyah ‘ala al-Adzkar al-Nawawiyyah?
2. Bagaimana karakteristik dan sistematika kitab Al-Futuhat al-Rabbaniyyah ‘ala al-Adzkar al-Nawawiyyah?
BAB
II
BIOGRAFI
IBNU ‘ALLAN
Nama lengkap Ibnu ‘Allan adalah
Muhammad Ali bin Muhammad ‘Allan bin Ibrahim
al-Bakri al-Shiddiqi al-Syafi’i. Namaun, biasanya beliau lebih dikenal dengan
sebutan Ibnu ‘Allan. Beliau ulama yang sangat masyhur, salah satu mufassirin (ulama
ahli tafsir) dan a’immati al-muhadditsiin (Imam para ahli hadis). Beliau lahir
di Makkah pada tahun 996H/1588M , Wafat hari selasa siang akhir bulan dzul
hijjah tahun 1057 H/1647M dalam usianya
yang ke-61. Dikebumikan di Ma’lah dekat dengan kuburan Syaikhu al-Islam Ibnu
Hajar al-Makky. Selain ahli ilmu hadis, Ibnu ‘Allan juga ahli dalam bidang ilmu
tafsir, tasawwuf, ushul fikih, sejarah, dan bahasa.[4]
Beliau tumbuh di Makkah dan mulai
menghafal al-Quran dan belajar qiraat disana. Beliau juga menghafal berbagai
matan kitab dan disiplin ilmu lainnya, tak ketinggalan juga beliau belajar fikih
dari berbagai ulama dizamannya. Hafal al-Quran sudah sejak dini, hingga pada
usia 18 tahun beliau sudah terkenal sebagai ahli qiraat dan pada usia 24 tahun
beliau sudah menjadi mufti. Beliau mulai mengumpulkan dan mengarang beberapa
kitab yang berkaitan dengan ilmu hadis, baik ilmu hadis riwayat maupun
ilmu hadis dirayat. Beliau terkenal sebagai imam yang tsiqoh
(terpercaya) dizamannya, baik dalam soal hafalan, ketakwaan dan dhobithnya
ketika meneliti hadis - hadis Rosulillah SAW, sangat faham dengan ‘illat-illat
(cacat)nya suatu hadis, validitas dan akurasinya juga sanad-sanad hadis yang
beliau kaji.
Beliau serupa dengan Imam al-Jalil
al-‘Allamah Jalaaluddin al-Suyuthi (mufassir, uhaddis dan faqih) dalam
pengetahuannya mengenai hadis serta banyaknya kitab yang dikarang. al-Syekh
Abdurrahman al-Khiyary mengatakan: ”Beliau (Ibnu ‘Allan) adalah Suyuthi di
zamannya”. Banyak Ulama yang mengambil ilmu dari Imam besar ini dan menyarahnya
hingga berjilid-jilid. Beliau pernah membaca kitab shaih bukhari didalam Ka’bah
dalam beberapa hari saat pembangunan ka’bah kembali setelah sempat hancur
terendam banjir besar yang terjadi pada tahun 1039 H. Menurut salah satu murid
beliau al-Fadhil Muhammad al-Nablawy al-Dimyati beliau bermimpi bertemu
Rosulullah SAW sedang membagi-bagi hadiah ke beberapa orang termasuk
diantaranya adalah gurunya al-Syekh Ibnu ‘Allan.[5]
Diantara para ulama’ yang menjadi
guru Ibnu ‘Allan adalah; al-Syaikh Abdul
al-Rahim bin Hasan al-Hanafi, Ahmad bin Ibrahim, Muhammad bin Muhammad bin
Jarullah bin Fahad al-Hasyimi, al-Sayyid Umar bin Abdul al-Rahim al-Basri, Ubaidillah
al-Khanjindi, Abdurrahman bin Muhammad al-Syarbini, al-Hasan al-Burini
al-Dimasyqi, al-Syaikh Abdullah al-Nahrawi, Muhammad al-Hajazi.
Diantara karya-karya Ibnu ‘Allan, yaitu ; Dhiya’ al-Sabil, Syarah
Qashidah Ibnu al-Muilaq wa Qashidah Abi Madyan, al-Fath al-Mustajad Libaghdad
Bina’ al-Ka’bah, Dalilu al-Falihin Lituruqi Riyadhu al-Shalihin, al-Mawahib
al-Fathiyyah ‘ala Thariqati al-Muhammadiyyah, al-Talatthuf fi al-Wusul ila al-Ta’arruf, al-Futuuhat
al-Rabbaniyyah al Adzkari al-Nawawiyyah, Raf’u al-Hashaish, Mutsiru Syauq
al-Anam ila Hajji Baitillahi al-Haram, Ittihaful al-Fadhil bi al-Fi’l al-Mabni Lighairi al-Faail.
BAB II
TENTANG
KITAB AL-FUTUHAT AL-RABBANIYYAH ‘ALA AL-ADZKAR AL-NAWAWIYYAH
A.
Pengertian Syarah Hadis
Kata syarah (syarh) berasal dari
bahasa Arab شرح – يشرح - شرحا yang
artinya menerangkan, membukakan, dan melapangkan.[6]
Istilah syarh (pemahaman) biasanya digunakan untuk hadis, sedangkan tafsir untuk kajian Al-quran. Dengan kata
lain, secara substansial keduanya sama (sama-sama menjelaskan maksud, arti atau
pesan), tetapi secara istilah, keduanya berbeda. Istilah tafsir spesifik bagi Al-quran
(menjelaskan maksud, arti, kandungan, atau pesan ayat Al-quran), sedangkan
istilah syarah (syarh) meliputi hadis (menjelaskan maksud, arti, kandungan,
atau pesan hadis) dan disiplin ilmu lain. [7]
Sedangkan secara istilah definisi syarah
hadis adalah sebagai berikut:
شَرْحُ الْحَدِيْثِ هُوَ بَيَانُ
مَعَانِي الْحَدِيْثِ وَاسْتِخْرَاجُ فَوَائِدِهِ مِنْ حُكْمٍ وَحِكْمَةٍ
Syarah hadis adalah menjelaskan
makna-makna hadis dan mengeluarkan seluruh kandungannya, baik hukum maupun
hikmah.
Definisi ini hanya menyangkut syarah terhadap matan
hadis, sedangkan definisi syarah yang mencakup semua komponen hadis itu, baik
sanad maupun matannya, adalah sebagai berikut:
شَرْحُ
الْحَدِيْثِ هُوَ بَيَانُ مَايَتَعَلَّقُ بِالْحَدِيْثِ مَتْنًاوَسَنَدًا مِنْ
صِحَّةٍ وَعِلَّةٍ وَبَيَانُ مَعَانِيْهِ وَاسْتِخْرَاجُ اَحْكَامِهِ وَحِكَمِهِ.
Syarah hadis adalah menjelaskan keshahihan dan kecacatan
sanad dan matan hadis, menjelaskan makna-maknanya, dan mengeluarkan hukum dan
hikmahnya.[8]
Dengan definisi di atas, maka kegiatan syarah hadis
secara garis besar meliputi tiga langkah, sebagai berikut: pertama, menjelaskan
kuantitas dan kualitas hadis, baik dari sisi sanad maupun dari sisi matan, dan
baik global maupun rinci. Hal ini meliputi penjelasan tentang jalur-jalur
periwayatannya, penjelasan identitas dan karakteristik para periwayatnya, serta
analisis matan dari sisi kaidah-kaidah kebahasaan. Kedua, menguraikan
makna dan maksud hadis. Hal ini
meliputi penjelasan cara baca lafal-lafal tertentu, penjelasan struktur
kalimat, penjelasan makna leksikal dan gramatikal serta makna yang dimaksudkan. Ketiga, mengungkap hukum
dan hikmah yang terkandung di dalamnya. Hal ini meliputi istinbat terhadap
hukum dan hikmah yang terkandung dalam matan hadis, baik yang
tersurat maupun yang tersirat.[9]
Syarah hadis juga berarti
meneliti, kemudian menjelaskan setiap komponen yang terdapat pada sebuah hadis. Secara umum, para ulama hadis
menjelaskan ada
dua komponen yang terdapat pada sebuah hadis
yakni sanad dan
matan. Sanad adalah rangkaian perawi yang memindahkan matan dari sumber
primernya. Sedangkan matan adalah redaksi hadis
yang menjadi
unsur pendukung pengertiannya.[10]
A.
Latar Belakang Penulisan
Adapun asal-usul atau latar belakang penulisan kitab Al-Futuhat
al-Rabbaniyyah ‘ala al-Adzkar al-Nawawiyyah adalah bahwa penulisan kitab
tersebut merupakan cita-cita dari Ibnu ‘Allan itu sendiri. Karena sebenarnya
Imam Ibnu ‘Allan sangat kagum terhadapa Imam al-Nawawi sang pengarang kitab
al-Adzkar yang menjadi kitab syarahannya.
Jika dilihat lebih dalam akan ditemukan sebuah kesamaan dari Imam Ibnu
‘Allan dan Imam al-Nawawi, yaitu bahwa keduanya merupakan penganut madzhad
syafi’i. Hal ini yang mungkin menjadikan
Imam Ibnu ‘Allan tertarik dan kagum terhadap Imam al-Nawawi. Bahkan
bukan hanya orangnya yang ia kagumi, atau mungkin lewat kekagumannya terhadap
Imam al-Nawawi tersebut yang mengantarkan Iman Ibnu ‘Allan untuk menyarahi
kitab karyanya, dalam hal ini adalah kitab Hilyah al-Abrar wa Syi’ar
al-Akhyar fi Talkhishi al-Da’awat wa al-Adzkar.
Selain itu, penulisan kitab
tersebut juga dimaksudkan sebagai wasilah atau amal shalih yang dilakukan oleh
Ibnu ‘Allan agar mendapatkan keberuntungan di hari kiamat kelak dan sebagai
modal besar untuk mendapatkan naungan Nabi Muhammad SAW sang pemberi naungan
pada hari kiamat kelak.[11]
Dari alasan Imam Ibnu ‘Allan tersebut dapat penulis simpulkan bahwa
Imam Ibnu ‘Allan memang benar-benar orang syafi’iyyah yang percaya akan syafaat
Nabi Muhammad SAW kelak di hari kiamat. Lebih jauh lagi, Imam Ibnu ‘Allan
mempercayai dan mempraktikkan secara terang-terangan praktik “wasilah” melalui
kitab karyanya ini.Hal ini menunjukkan bahwa Imam Ibnu ‘Allan memanglah ulama’ hadis
yang sangat teguh memegang ajaran madzhabnya.
B.
Sumber Penulisan
Kitab Al-Futuhat al-Rabbaniyyah ‘ala al-Adzkar al-Nawawiyyah merupakan
kitab syarah hadis yang ditulis oleh Imam Ibnu ‘Allan atas kitab Hilyah
al-Abrar wa Syi’ar al-Akhyar fi Talkhishi al-Da’awat wa al-Adzkar karya
dari Imam Muhyiddin Abi Zakaria Yahya al-Nawawi al-Syafi’i . Karena kitab Al-Futuhat
al-Rabbaniyyah ‘ala al-Adzkar al-Nawawiyyah adalah subuah kitab syarah hadis,
maka yang menjadi sumber penulisan dari kitab tersebut adalah kitab yang
disyarahinya yaitu kitab Hilyah al-Abrar wa Syi’ar al-Akhyar fi Talkhishi al-Da’awat
wa al-Adzkar.
Sedangkan kitab Hilyah al-Abrar wa Syi’ar al-Akhyar fi Talkhishi
al-Da’awat wa al-Adzkar itu sendiri adalah kitab hadis yang hadis-hadis
didalamnya merupakan hasil ringkasan dari hadis-hadis yang terdapat dalam lima
kitab pokok hadis, yaitu: Shahih al-Bukari, Shahih al-Muslim, Sunan Aabu Daud,
Sunan al-Tirmidzi, dan Sunan al-Nasa’i. Selain itu, kitab Hilyah al-Abrar wa
Syi’ar al-Akhyar fi Talkhishi al-Da’awat wa al-Adzkar tersebut tidak
melakukan perubahan juz-juz dan sanad-sanad kecuali pada beberapa tempat yang
asing. Demikian juga terkait masalah hadis-hadis yang dipilih dari kelima kitab
pokok hadis diatas, hanya mengambil hadis-hadis yang shahih dan tidak mengambil
hadis-hadis yang dhaif kecuali dengan menjelaskan alasan kedhaifannya.[12]
Perlu untuk diketahui bahwa kitab Hilyah al-Abrar wa Syi’ar
al-Akhyar fi Talkhishi al-Da’awat wa al-Adzkar merupakan kitab hadis yang
berisi tantang hadis-hadis yang berkaitan dengan wilayah dzikir dan hadis-hadis
yang memuat bacaan-bacaan dzikir dalam berbagai situasi dan kondisi. Hal ini
sesuai dengan judul kitab ini sendiri yang berarti “permata para orang shalih
dan semboyan para orang pilihan dalam mensucikan doa-doa dan dzikir-dzikir”
menunjukkan bahwa kitab tersebut disusun dengan konten isi berkenaan dengan
lafadz-lafadz dzikir dan hal-hal ynag berkaitan dengannya.
Bukti lainnya adalah ketika kita melihat daftar isi dari kitab
tersebut, maka akan terlihat dengan jelas bahwa kitab tersebut benar-benar
memfokuskan pembicaran dalam masalah
dzikir. Terkait hai ini, akan penulis tunjukkan dalam pembahasan berikutnya
lewat sebuah bagan sistematika penyusunan kitab Al-Futuhat al-Rabbaniyyah
‘ala al-Adzkar al-Nawawiyyah.
Imam al-Nawawi mengharapkan kitabnya Hilyah al-Abrar wa Syi’ar
al-Akhyar fi Talkhishi al-Da’awat wa al-Adzkar tersebut menjadi sebuah
kitab yang mu’tamad (otentik). Bahkan dalam kitabnya tersebut, beliau
tidak menyebutkan hadis-hadis pada sebuah bab kecuali hadis-hadis tersebut
secara jelas menunjukkan masalah yang perlu adanya penjelasan.[13]
Dapat dilihat dari penjelasan diatas bahwa Imam al-Nawawi sangatlah
selektif dan teliti dalam memasukkan hadis-hadis dalam kitab karyanya. Bukan
hanya hadis-hadis yang memiliki kualitas shahih saja yang dipinang untuk
dimasukkan ke dalam kitabnya, melainkan juga hadis-hadis yang penting untuk
dijelaskan dari segi redaksinya. Secara singkat dapat disimpulkan bahwa hadis-hadis
yang telah tertera dalam kitbanya tersebut merupakan hadis-hadis pilihan dari
Imam al-Nawawi.
Hal ini secara tersirat juga menjelaskan mengapa Imam Ibnu ‘Allan memilih kitab al-Adzkar al-Nawawi
menjadi kitab yang ia syarahi daripada kitab-kitab ulama’ syafi’iyyah lainnya.
Karena Imam Ibnu ‘Allan menyadari bahwa hadis-hadis
yang dimasukkan oleh Imam al-Nawai dalam kitabnya adalah benar-benar hadis yang
sudah disaring, dipilih, dan diperlukan untuk diketahui dan diamalkan pada
nantinya.
C.
Metode Penulisan
Para ulama terdahulu telah banyak melakukan penafsiran
terhadap hadis-hadis yang terdapat dalam berbagai kitab hadis, yakni dengan menulis
kitab-kitab syarah. Meskipun kitab-kitab tersebut telah banyak disusun, tetapi upaya untuk melakukan metode yang digunakan oleh para ulama dalam
penyusunan kitab-kitab syarah tersebut hampir tidak tersentuh.
Berdasarkan fakta-fakta diatas, mengetahui cara atau metode pemahaman hadis-hadis yang digunakan oleh para ulama dalam
menyusun kitab syarah menjadi sebuah keniscayaan, hal tersebut diperoleh untuk
memperoleh kerangka umum bangunan metodologis dalam pemahaman hadis.
Para penulis telah mempersembahkan karya-karya mereka
dibidang syarah hadis. Jika karya-karya tersebut dicermati, maka dapat diklasifikasikan
beberapa metode yang dipergunakan oleh para pensyarah.
Metode-metode syarah yang dimaksud adalah metode tahlili, ijmali, muqorin dan maudlu’i.
Metode-metode ini diadopsi dari metode penafsiran al-quran
dengan melihat karakter persamaan yang terdapat antara penafsiran al-quran dan penafsiran atau syarah hadis. Artinya metode
penafsiran al-quran dapat diterapkan dalam syarah hadis dengan mengubah
redaksi/kata al-quran menjadi hadis; tafsir mejadi syarah.[14]
Sedangkan menurut Dr. Utsman al-Khasyit yang beliau kemukakan dalam
meneliti metode syarah hadis, ada empat model metode pengajaran guru hadis
terhadap murid-muridnya, antara lain :
a.
Asy- Syarah at-tafshili (penjelasan
terperinci )
Yang mana seorang guru membacakan hadis Nabi Saw. Kemudian berhenti
sejenak untuk mengemukakan isnad dan nama rijalnya sesuai dengan kaidah al-jarhu
wa at-ta’dil, lantas membicarakan persambungan atau keterputusannya dan
menentukan keshahihan atau kedha’ifannya dengan menyebut letak kecacatannya
(bila ditemukan).
b.
Asy- Syarah al-Wasith (penjelasan
sederhana)
Yang mana seorang guru
membacakan hadis nabi Saw. Yang kemudian diikuti beberapa penjelasan secukupnya
tentang lafadz-lafadz yang asing (gharib) dan susunan kalimat yang terkait,
kemudian secara singkat memberikan wacana tentang diterima atau di tolaknya
suatu hadis.
c.
Asy-syarah al-Wajiz (penjelasan
Ringkas)
yang mana seorang guru menyampaikan hadis cukup dengan menjelaskan
hal-hal yang sulit dan tempat-tempat yang Musykil dengan menyebutkan beberapa
pokok permasalahan yang ada di dalamnya dengan sangat ringkas.
d.
Al-Qira’an al-tatbi;iyyah (membaca
ditirukan)
Yang mana seorang
guru cukup dengan membacakan kitab hadis Nabi Saw dalam pelajran tertentu.
Kemudian apa yang dibacakan guru tersebut diikuti oleh murid-muridnya dengan
tanpa menjelaskan apa yang ada didalamnya.
Sedangkan Kitab Al-Futuhat al-Rabbaniyyah ‘ala al-Adzkar
al-Nawawiyyah ini menggunakan metode yang pertama Asy- Syarah
at-tafshili (penjelasan terperinci ) atau nama lainnya yaitu metode
tahlili. Hal ini dapat dibuktikan dengan bentuk dan model pensyarahannya yang disajikan perkata. Syarat
dengan metode pensyarahan klasik terhadap hadis, yang pada masa itu kebanyakan
pola pensyarahan masih menggunakan penjelasan secara oral (bil lisan).
Secara lebih lengkap metode syarah tahlili
adalah menjelaskan hadis-hadis Nabi dengan memaparkan segala aspek yang
terkandung dan menerangkan makna-makna yang
tercakup didalamnya sesuai dengan kecenderungan dan keahlian pensyarah.[15]
Ciri-ciri umum dari metode tahlili ialah pensyarahan yang mengikuti metode ini dapat
berbentuk ma’tsur (riwayat) / ra’yu (pemikiran rasional). Jika dicermati maka pensyarahan yang
dilakukan mengikuti pola menjelaskan makna yang terkandung dalam hadis secar
konprenhensif dan menyeluruh. Dalam melakukan
pensyarahan, hadis dijelaskan kata demi kata, kalimat demi kalimat secara
berurutan, serta menerangkan asbab al-wurud. Jika hadis yang disyarah memiliki asbab
al-wurud, dijelaskan juga munasabat (hubungan) antara satu hadis dengan hadis lain.
Serta diwarnai pula oleh kecenderungan dan keberpihakan pensyarah kepada salah
satu madzhab tertentu.[16]
D.
Sistematika Penulisan Kitab
Imam Ibnu ‘Allan dalam penulisan kitab Al-Futuhat al-Rabbaniyyah
‘ala al-Adzkar al-Nawawiyyah merujuk berdasarkan urutan bab yang terdapat
pada kitab al-Adzkar al-Nawawi. Jadi,
disini Imam Ibnu ‘Allan tidak melakukan adanya perubahan terhadap
penyusunan kitab yang disyarahinya, beliau langsung terpaku dengan urutan bab
yang telah ditetapkan oleh Imam al-Nawawi dalam kitab al-Adzkar-nya.
Kitab ini sendiri terdiri dari 7 jilid (versi pdf), sedangkan hadis-hadis
yang dicantumkan didalamnya kurang-lebih berjumlah sebanyak 1.231 buah hadis.
Imam Ibnu ‘Allan menghimpun matan-matan hadis secara runtut dan sitematis
sesuai tema dalam satu pembahasan dan bab-bab tertentu. Adapun urutannya adalah
sebagai berikut:[17]
No
|
Nama Kitab
|
Jilid
|
No. Hadis
|
Halaman
|
1.
|
Muqaddimah
al-muhaqqiq
|
1
|
-
|
3
|
2.
|
Muqaddimah
al-mushannif
|
1
|
-
|
7
|
3.
|
Syarah
khudhbah wa muqaddimah al-adzkar
|
1
|
1
|
9
|
4.
|
Fashl fi
al-amri bi al-ihklas wa husni al-niyyah
|
1
|
2
|
32
|
5.
|
Fashl fi
ahwali ta’arrudh
|
1
|
12
|
91
|
6.
|
Fashl yukrahu
qiraatu al-quran
|
2
|
136
|
170
|
7.
|
Kitab tilawah
al-quran
|
3
|
303
|
154
|
8.
|
Fahl fi auqat
|
3
|
306
|
162
|
9.
|
Fashl fi
adabi al-khatm
|
3
|
307
|
164
|
10.
|
Fashl fiman
nama
|
3
|
112
|
169
|
11.
|
Fashl fi
al-amri
|
3
|
313
|
169
|
12.
|
Kitab
hamdullah
|
3
|
326
|
193
|
14.
|
Fashl
al-shalah ‘ala rasulillah
|
3
|
329
|
203
|
15.
|
Kitab
al-adzkar wa da’awat
|
3
|
341
|
234
|
16.
|
Kitab adzkar
al-maradh wa al-maut
|
4
|
382
|
37
|
17.
|
Fashl fi
isyarah il ba’dhi ma jara min al-thawa’in
|
4
|
450
|
108
|
18.
|
Kitab
al-adzkar fi shalawat al-mahshushah
|
4
|
488
|
159
|
19.
|
Fashl fi
al-takbir al-murassal
|
4
|
493
|
165
|
20.
|
Kitab
al-adzkar al-shiyam
|
4
|
532
|
227
|
21.
|
Fashl
al-du’at fi al-bait
|
4
|
547
|
269
|
22.
|
Kitab
al-adzkar al-jihad
|
5
|
558
|
31
|
23.
|
Kitab adzkar al-musafir
|
5
|
585
|
65
|
24.
|
Kitab adzkar
al-akl wa al-syarab
|
5
|
623
|
118
|
25.
|
Kitab
al-salam wa la-isti’dzan
|
5
|
666
|
174
|
26.
|
Fashl fi
al-mushafahah
|
5
|
732
|
256
|
27.
|
Fashl fi
istijab thalab al-insan
|
5
|
744
|
266
|
28.
|
Fashl fi ma
‘athsa yahudi
|
6
|
762
|
20
|
29.
|
Kitab adzkar
al-nikah
|
6
|
795
|
43
|
30.
|
Kitab
al-asma’
|
6
|
814
|
67
|
31.
|
Kitab
al-adzkar al-mutafarriqah
|
6
|
852
|
110
|
32.
|
Fashl annahu
yanbaghi likulli mukallafin
|
6
|
979
|
222
|
33.
|
Fashl fi jawazi
la’ni ashhabi al-ma’ashi
|
7
|
1035
|
38
|
34.
|
Kitab jami’
al-da’awat
|
7
|
1129
|
126
|
35.
|
Kitab fi
adabi al-du’a
|
7
|
1174
|
153
|
36.
|
Kitab
al-istighfar
|
7
|
1188
|
176
|
E.
Karakretistik dan Analisis Kitab
Pertama-tama sebelum masuk ke dalam pembahsan hadis yang akan
disyarahi, hadis-hadis tersebut dikelompokkan sesuai dengan bab atau fashal
yang menjadi tema besar dalam pembahasannya. Bahkan dalam kasus ini Imam Ibnu
‘Allan tidak serta-merta membiarkan tema besar tersebut tertulis sia-sia, ia menyarahi
hadis-hadis yang terdapat pada kitab al-Adzkar bukan berawal dari matan hadis itu sendiri melainkan ia
memulai menyarahinya dari bab atau fashal yang menjadi payung tema dari hadis-hadis
tersebut. Hal ini dapat kita lihat dalam contoh berikut ini;[18]
Dari contoh diats terlihat bahwa Imam Ibnu ‘Allan tidak main-main
dalam usahanya menyarahi kitab al-Adzkar, bahkan dalam masalah fashal ia sudah
memberikan penjelasan yang cukup lengkap dan mendetail. Bukan sekedar
penjelasan singkat yang hanya sebagai pelengkap, tetapi penjelasan yang Imam
Ibnu ‘Allan utarakan memang sangat jauh diatas sederhana dan mungkin bisa
dikatakan masuk kategori lengkap.
Dalam contoh diatas Imam Ibnu ‘Allan mendahulukan pembahsan nahwu
dan kebahasaan dari pada pembahasan term-term keilmuan yang lainnya dan ini
menjadi ciri khas Imam Ibnu ‘Allan ketika penjelaskan sebuah kata secara
tahlili. Imam Ibnu ‘Allan menjelaskan bahwa “fashal” atau kata yang menjadi
serupanya seperti kitab, bab, far’u, dst bisa memiliki
beberapa kedudukan (tarkib) dalam ilmu nahwu, yaitu; bisa menjadi khabar
dari mubtada’ yang dibuang, bisa menjadi mubtada’ dari khabar
yang dibuang, atau bisa menjadi khabar dharaf.
Selain penjelasan nahwu tersebut Imam Ibnu ‘Allan juga menjelaskan
bahwa adanya pembagian fashal-fashal dimaksudkan untuk memudahkan
para guru dalam menyampainkan materi pembelajarannya baik itu berkaitan dengan
ilmu hadis ataupun yang berkaitan dengan ilmu-ilmu lainya dan memudahkan para
murid untuk mengkaji materi-materi tersebut karena sudah dikelompokkan sesuai
dengan tema besar yang yang menaunginya. Imam Ibnu ‘Allan juga mengutip
komentar singkat Imam al-Zamakhsyari terkait dengan masalah ini:[19]
Imam al-Zamakhsyari menjelaskan bahwa ketika seorang qari’
telah mengkhatamkan suatu bab dari sebuah kitab kemudian ingin melanjutkan ke
kitab yang lain, qari’ tersebut menuliskannya dan mengumpulkannya dalam
sebuah pembahasan. Namun, jika qari’ tersebut ingin melanjutkan kitab
tersebut ia akan memberi tanda dengan cara member garis pada pada akhir
pembahsan, sehingga dapat dibedakan pemhasan yang satu dengan pembahsan yang
lain. Kemudian Imam al-Zamakhsyari juga menganalogikannya dengan al-Quran yang
terkumpul dalam bentuk surat-surat, juz-juz, dan per sepuluh juz.
Hal ini –tidak lain— dimaksudkan untuk mempermudah para guru dan
murid dalam kegiatan belajar-mengajar. Jika tidak demikian, maka akan sangat
memberatkan mereka dalam kegiatan belajar-mengajar, sebab jika sebuah
pembahasan tidak dikelompokkan sesuai dengan tema, pembahasan tersebut akan
melebar kemana-mana dan pembahasan tersebut tidak akan bisa focus. Maka dengan
adanya fashal-fashal tersebut diharapkan bisa membatasi melebarnya
pembahasan yang akan dikaji oleh para guru dan murid tersebut.
Kemudian sebelum masuk kedalam konten redaksi hadis, akan disebutkan
terlebih dahulu ayat al-Quran yang berkaitan dengan redaksi atau isi dari hadis-hadis
tersebut. Disini Imam Ibnu ‘Allan juga menyebutkan secara singkat tafsir dari
ayat al-Quran tersebut, seperti contoh berikut ini;[20]
Imam Ibnu ‘Allan menjelaskan bahwa berdasarkan QS. al-Bayyinah (5)
ini para ulama’ ahli sunnah berpendapat bahwa sesungguhnya esensi dari ibadah
bukanlah untuk memperoleh pahala dan menjauhkan diri dari api neraka dan siksa
dari Allah SWT, akan tetapi ibadah untuk menjalankan hak ketuhanan dan
mendirikan derajat keibadahan. Berdasarkan yat ini pula, Imam al-Suyuti
melakukan istinbath hukum sehingga didapat sebuah kesimpulan bahwa niat
itu wajib hukumnya dalam setiap menjalankan ibadah, sebab keikhlasan tidaklah
ada kecuali bersamaan dengan adanya niat itu sendiri.
Selanjutnya Imam Ibnu ‘Allan menjelaskan tentang makna ibadah itu
sendiri, ia menuturkan bahwa ibadah adalah sebutan untuk ketaatan kepada Allah
secara tunduk dan merendahkan diri kepada Allah dan merupakan puncak pengagungan
kepada Allah SWT. Para al-‘Arifun berpendapat bahwa meskipun demikian ada juga
orang beribadah dengan bertujuan untuk memperoleh pahala dan menghindarkan diri
dari siksa neraka, dan ini menurut mereka dapat menurunkan derajat ibdah itu
sendiri.
Langkah selanjutnya yang diambil oleh Imam Ibnu ‘Allan ialah
menjelaskan sanad hadit yaitu berupa para perawi hadis, dan lewat penjelasanya
tersebut sekaligus membuktikan bahwa kitab al-Adzkar yang menjadi kitab rujukan
syarah Al-Futuhat al-Rabbaniyyah ‘ala al-Adzkar al-Nawawiyyah hanya
memuat hadis-hadis yang shahih saja dan beberapa hadis dhaif disertai dengan
penjelasannya. Imam Ibnu ‘Allan mencoba membuktikannya dengan menyebutkan jarh
wa ta’dil dari para rawi yang meriwayatkan hadis tersebut, seperti berikut
ini:[21]
Jika diperhatikan dari contoh diatas, dapat diperoleh kesimpulan
bahwa Imam Ibnu ‘Allan tidak proporsional dalam memberikan penjelasan terhadap
setiap rawi. Dalam rawi Muhammad bin Ibrahim al-Taimi, Imam Ibnu ‘Allan hanya
menjelaskan perihal julukannya saja kenapa disebut dengan al-Taimi. Julukan
tersebut dinisbatkan kepada sebuah tempat bernama Taim, tanpa menjelaskan jarh
wa ta’dil-nya.
Namun kemudian ketika Imam Ibnu ‘Allan menjelaskan rawi ‘Alqamah
bin Waqqash al-Laisti penjelasannya lebih terlihat lengkap daripada ketika ia
menjelaskan Muhammada bin Ibrahim al-Taimi. Menurut al-Hafidz Ibnu Hajar
al-‘Asqalani dalam kitab Taqribnya lafadz “waqqash” menggunakan tasydid.
‘Alqamah sendiri memiliki julukan al-Laisti al-Madani dan masuk dalam kategori tsiqqah
tsubut. Dikatakan bahwa ia termasuk dalam kategori shahabat yang
dilahirkan pada masa Nabi dan wafat pada masa khalifah Abdul Malik. Dapat
dilihat bahwa penjelasan terkait rawi ‘Alqamah bin Waqqash al-Laisti
penjelasannya lebih terlihat lengkap daripada ketika ia menjelaskan Muhammada
bin Ibrahim al-Taimi. Terdapat nisbah julukan yang disandang oleh Alqamah,
terdapat juga sejarah singkat tentangnya seperti kelahiran dan kewafatannya.
Dan yang menjadi penting untuk membuktikan bahwa rawi ini ta’dil ialah
dengan menyebutkan bahwa ia masuk dalam kategori tsiqqah tsubut.
Contoh lainnya yang menunjukkan ketidak proporsionalan Imam Ibnu
‘Allan ketika menjelaskan rawi hadis ialah ketika beliau memaparkan penjelasan tentang ‘Umar bin Khattab berikut
ini:[22]
Ketika sebelumnya Imam Ibnu
‘Allan memperlihatkan ketidak proporsionalannya dalam menjelaskan al-Taimi dan
al-Laitsi kali ini beliau kembali meunjukkan hal tersebut ketika berbicara
tentang Umar. Ketika menjelaskan Umar, Imam Ibnu ‘Allan terlihat lebih memiliki
banyak bahan sehingga penjelasannya pun lebih komprehensif dari kedua rawi
sebelumnya.
Umar bin Khattab merupakan khalifah yang kedua, memiliki julukan
amirul mu’minin, ia adalah keturunan dari orang Quraisy. Kunyahnya adalah Abi
Hafsh, itu merupakan bahasa singa. Laqabnya adalah al-Faruq untuk membedakan
antar yang haq dan yang batil. Umar masuk islam setelah 40 orang laki-laki dan
11 orang perempuan pada tahun ke-6 kenabian. Ia diangkat menjadi kahlifah pada
hari wafatnya Abu Bakar, yiatu pada tahun ke-13H. Sedangkan ia sendiri wafat
diatangan seorang nasrani bernama Abi Lu’luah pada hari rabu keempat bulan
dzulhijjah pada tahun 23H dalam usianya yang ke-63. Umar dimakamkan
berdampingan dengan Nabi Muhammad SAW dan Abi Bakar di rumah ‘Aisyah.
Dari berbagia penjelasan yang coba Imam Ibnu ‘Allan paparkan, mulai
dari judul atau tema hadis, ayat-ayat al-Quran yang terkait dengan tema hadis,
dan perawi dari hadis-hadis tersebut terdapat corak khas yang dipakai oleh Imam
Ibnu ‘Allan ketika menjelaskan hal-hal tersebut adalah dominasi penjelasan
nahwunya. Dari ketiga hal itu, semuanya tersentuh dengan penjelasan nahwiyyah.
Berdasarkan bukti tersebut, dapat penulis katakan bahwa selain ilmu hadis, ilmu
nahwu adalah ilmu yang menjadi kegemaran atau favorit dari Imam Ibnu ‘Allan. Seperti yang telah
dipaparkan dalam poin biografi sebelumnya bahwa Imam Ibnu ‘Allan ahli dalam
berbagai ilmu seperti: al-Quran, hadis, nahwu, sharaf, sejarah, fiqih,
tashawwuf, filsafat, dst akan tetapi berdasarkan
bukti yang tampak dari model pensyarahannya tersebut dapat dipastikan bahwa
dominasi keilmuan Imam Ibnu ‘Allan adalah hadis dan nahwu. Ini menunjukkan
bahwa al-Syaikh abdurrahim al-Hasan sebagai guru nahwu, ‘arudh, ma’ani, dan
bayan adalah guru yang paling mempengaruhi model dan corak pensyarahan yang
telah dilakukan Imam Ibnu ‘Allan.
Dalam pensyarahan yang dilakukan oleh Imam Ibnu ‘Allan ketika
menjelaskan maksud dari setiap kata yang terdapat dalam redaksi hadis,
penjelasannya terlihat cukup lengkap dan kaya akan muatan-muatan keilmuan. Dan
muatan-muatan tersebut tidak bisa dilepaskan dari historisitas keilmuan Imam
Ibnu ‘Allan itu sendiri, seperti; nahwu, fiqih, tafsir, tashawwuf, dst. Seperti
ketika Imam Ibnu ‘Allan mencoba menjelaskan kata “niyyat” berikut ini : [23]
Jika diamati lebih dalam—lawan dari singkat—, maka akan ditemukan beberapa
pokok poin penting yang dipakai Imam Ibnu ‘Allan dalam melakukan penjelasan
terhadap syarah tafshili yang ia lakukan dalam kitab Al-Futuhat
al-Rabbaniyyah ‘ala al-Adzkar al-Nawawiyyah-nya. Secara garis besar beberapa
pokok poin penting itu dapat dibagi sebagai berikut:
Pertama, penjelsan
kebahasaan. Hal ini sudah sedikit dijelaskan pada keterangan sebelumnya yang
mengatakna bahwa selain ilmu hadis itu sendiri Imam Ibnu ‘Allan sangat
menggandrungi ilmu nahwu, bayani, ma’ani. Hal ini tidak terlepas dari peran
gurunya yaitu al-Syekh Abdrrahim bin Hasan al-Hanafi. Inilah yang menyebabkan
mengapa penjelasan kebahasaan selalu menempati tempat pertama ketika Imam Ibnu
‘Allan ingin menjelaskan makna perkata dari kata-kata tersebut. Dalam kasus “niyyat” tersebut dijelaskan bahwa
terdapat sebuah riwayat yang menyatakan adanya perbedaan redaksi terkait
redaksi yang terdapat pada hadis tersebut, yaitu menggunakan kata niyyah
(bentuk mufrad) dan riwayat yang berbeda tersebut juga kuat kualitasnya.
Lebih lanjut Imam Ibnu ‘Allan menjelaskan bahwa lafadz niyyah adalah bentuk isim
masdar dari fi’il madhi “nawa”.
Kedua, penjelasan
fiqih. Imam Ibnu ‘Allan memang dikenal tidak hanya menguasai ilmu hadis dan
bahasa, namun juga ahli dalam ilmu fiqih. Dalam kasus “niyyat” diatas
dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan niyyat adalah menginginkan sesuatu maksud
bersamaan dengan pekerjaan yang dilakukan. Kecuali dalam kasus seperti puasa
dan zakat (tidak harus bersamaan) karena akan menyulitkan orang yang
melakukannya. Sedikit penjelasan tersebut mengindikasikan keahlian Imam Ibnu
‘Allan dalam kajian ilmu fiqih, dan ia tidak melulu panjang-lebar membicarakan
masalah kebahasaan dan lupa untuk menjelaskan poin-poin penting lainnya yang
dibutuhkan untuk mendapatkan pemahaman yang lebih komprehensif.
Ketiga. penjelasan “munasabah”.
Pada poin ketiga kali ini penulis maksudkan dengan penjelasan dengan cara
mengaitkan tema hadis dengan ayat-ayat al-Quran dan hadis-hadis lainnya yang
berkaitan. Ada kalanya ayat-ayat yang dipakai untuk munasabah ialah ayat-ayat
yang telah disebutkan dalam judul besar sebelumnya atau mungkin ayat-ayat baru
yang berbeda dengan ayat-ayat yang tertera pada judul besar sebelumnya. Seperti
dalam penjelasan berikut :
Terdapat 3 ayat munasabah yang dipakai dalam penjelasan kali ini,
yaitu; Ali Imran (24), al-Shaf (3), al-Mumtahanah (10), dan kebetulan ketiga
ayat tersebut berbeda dengan ayat terdapat pada judul besar sebelumnya, yaitu;
al-Bayyinah (5) dan al-Hajj (37). Ayat-ayat tersebut memaparkan bahwa manusia
diuji dengan syahwat berupa wanita, dan wanita itu adalah syahwat terdahsyat.
Keteranagan ini berkaitan dengan redaksi hadis yang membicarakan tentang niat
hijrahnya seseorang laki-laki karena ingin menikahi seorang perempuan yang
disukainya.Untuk hadis munasabah Imam Ibnu ‘Allan mengutip sebuah hadis Nabi
yang artinya; “aku tidak meninggalkan
pasca kewafatanku sebuah fitnah yang lebih berbahaya bagi laki-laki
kecuali perempuan”. Disini menunjukkan bahwa Imam Ibnu ‘Allan menggunakan teori
inter-tekstualitas dalam memahami sebuah teks, dalam kasus ini adalah teks hadis
tentang niat.
Selain penjelasan syarahnya yang begitu kompleks, Imam Ibnu ‘Allan
juga sering ditemukan mengutip perkataan para ulama’ ketika menjelaskan maksud hadis.
Namun, kutipan-kutipan tersebut tidak terdapat dalam setiap pembahasan,
kutipan-kutipan tersebut hanya diketemukan pada pembahasan-pembahasan yang
menurut Imam Ibnu ‘Allan sebagai pembahasan yang memilki hubungan dan kaitan
dengan pembahasan hadis yang sedang disyrahinya. Seperti contoh berikut ini:[24]
Kutipan diatas berbentuk nadzam atau syi’ir yang berasal dari Abu
al-Hasan Thahir bin al-Mafuz yang menjelaskan bahwa terdapat 4 perkara yang
menjadi tiangnya manusia, yaitu; takutlah pada hal-hal syubhat, zuhudlah
kepada dunia, tinggalkanlah hal-hal yang tidak bermanfaat bagimu, dan
beramallah dengan niat. Kutipan ini diambil guna dijadikan penguat terhadap
keterangan sebelumnya yang menjelaskan bahwa hadis tentang niat tersebut merupakan
salah satu hadis yang menjadi poros dalam Islam. Adapun mengenai ada berapakah
poros Islam tersebut ulama’ berbeda pendapat, menurut Abu al-Hasan Thahir bin
al-Mafuz poros Islam tersebut ada 4 perkara seperti keterangan diatas. Yang
pasti adalah bahwa niat adalah poin yang menjadai salah satu dari poros Islam
tersebut.
Ketika mengutip pendapat para ulama’, Imam Ibnu ‘Allan terkadang
menyajikannya dalam bentuk syi’ir seperti contoh diatas. Namun, juga banyak
ditemukan kutipan-kutipan tersebut dalam bentuk susunan kalimat seperti biasa.
Seperti contoh berikut ini:[25]
Disana Imam Abu Daud berkomentar bahwa hadis niat tersebut
merupakan setengah dari ilmu. Kemudian disusul dengan komentar Imam Syafi’i
yang tidak jauh berbeda dengan komentar Abu Daud bahwa dalam hadis niat
tersebut termuat setengah dari ilmu karena niat tidak bisa dilepaskan dari amal
hati (batiniyyah) dan amal anggota badan (lahiriyyah) itu
sendiri. Bahkan niat lebih suci dan lebih utama, ia merupakan pokok dan
setengah dari ilmu.
Disini terlihat bahwa Imam Ibnu ‘Allan disamping mengutarakan
pendapatnya sendiri terkait dengan penjelasan hadis, ia menambahkan
keterangan-keterangan dengan mengutip pendapat para ulama untuk menguatkan dan
memeperkaya penjelasan yang telah sedemikian rupa ia susun demi mendapatkan
pemahamn yang lebih lengkap dan menyeluruh. Hal ini tidak bisa terlepas dengan
tradisi keilmuan pada saat itu yang masih mengandalkan tradisi oral dalam
penyampaian ilmu dan Imam Ibnu ‘Allan masih melestarikan cara tersebut lewat
kitab Al-Futuhat al-Rabbaniyyah ‘ala al-Adzkar al-Nawawiyyah-nya ini.
BAB IV
KELEBIHAN DAN KEKURANGAN
Dalam setiap hal tentunya terdapat kelebihan dan kekurangan yang
menyertainya, tidak jauh berbeda dengan kitab Al-Futuhat al-Rabbaniyyah ‘ala
al-Adzkar al-Nawawiyyah kali ini. Sejauh pengamatan penulis, dalam kajian
terhadap kitab Al-Futuhat al-Rabbaniyyah ‘ala al-Adzkar al-Nawawiyyah terdapat
beberapa kelebihan dan kekurangan, yang akan dijelaskan dan diungkap secara
ringkas pada penjelasan selanjutnya.
Adapun kelebihan dari Kitab Al-Futuhat al-Rabbaniyyah ‘ala
al-Adzkar al-Nawawiyyah ini diantaranya adalah :
a.
Kitab
yang disusun dengan metode tahlili seperti ini mempermudah bagi para pembaca karena
dengan ini pembaca tahu lebih banyak tentang kosa-kata bahasa arab ini.
b.
Memilih
mengambil hadis-hadis yang shahih dari kelima kitab rujukan yang digunakan oleh
kitab yang disyarahinya, serta menambahkan beberapa hadis dhaif yang dirasa
penting penjelasannya lengkap dengan alasan kedhaifannya. Serta banyak mengutip
pendapat ulama’ yang memperkuat konten syarahnya.
c.
Sistematika
penulisan yang sama dengan kitab yang disyarahi menjadikan pembaca lebih mudah
untuk mengecek ulang, merujuk, dan mengkonfirmasi semua informasi yang
dijelaskan dalam kitab Al-Futuhat al-Rabbaniyyah ‘ala al-Adzkar
al-Nawawiyyah tersebut.
Adapun kekurangan dari kitab Al-Futuhat al-Rabbaniyyah ‘ala
al-Adzkar al-Nawawiyyah ini, diantaranya adalah :
a.
Penjelasan
yang begitu kompleks menjadikan pembaca kurang bisa menangkap maksud hadis
secara langsung, bahkan pembaca terlebih dahulu harus menyimak penjelasan yang
begitu luas dan panjang hanya untuk memahami satu hadis saja.
b.
Imam
Ibnu ‘allan tidak menyertakan sumber kitab ketika beliau mengutip pendapat para
ulama’, hal ini menyulitkan pembaca ketika akan melakukan recheck
terhadap informasi yang dipaparkan.
c.
Ketika
menjelaskan para perawi hadis, selalu berbeda antara perawi yang satu dengan
perawi lainnya. Terkadang sangat panjang penjelasannya, dan tidak jarang sangat
singkat penjelasannya.
DAFTAR
ISI
‘Allan, Muhammad Ali bin
Muhammad ibnu. Al-Futuhat al-Rabbaniyyah ‘ala al-Adzkar al-Nawawiyyah.
(Beirut: Dar al-Kutub al-‘Alamiyyah). Tqq:
Abdul Mun’im Khalil Ibrahim.
al-Manzhur,
Muhammad bin Mukarram bin al-Afriqi al-Mishri.
Lisan al-‘Arab. (Beirut: Dar Shadir, t.t)
al-Khatib, Ajjaj. Ushul al-Hadis Ulumuh wa Musthalahuh.
(Beirut: Dar al-Fikr, 1989)
al-Khatib, Ajaj. Ushul al-Hadis. (Jakarta: GMP, 2007).
al-Shiddiqi, Muhammad Hasbi. Sejarah Perkembangan Hadis.
(Jakarta: Bulan Bintang, 1980)
Ali, Nizar. Memahami Hadis Nabi. (Yogyakarta: CESaD YPI Al-Rahman, 2001).
Ali, Nizar. (Ringkasan Desertasi) Kontribusi Imam Nawawi dalam Penulisan Syarh
Hadis, (Yogyakarta. 2007).
Nurkholis, Mujiono. Metodologi Syarah Hadist. (Bandung:
Fasygil Grup, 2003).
[1]
Ajjaj
al-Khatib, Ushul al-Hadis Ulumuh wa Musthalahuh (Beirut: Dar al-Fikr,
1989), hlm.34.
[2] Hasbi
al-Shiddiqi, Sejarah Perkembangan Hadis, (Jakarta: Bulan Bintang, 1980),
hlm. 72.
[3] Ibid,
hlm.113-123.
[4] Muhammad Ali
bin Muhammad ibnu ‘Allan, Al-Futuhat al-Rabbaniyyah ‘ala al-Adzkar
al-Nawawiyyah, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Alamiyyah), Tqq. Abdul Mun’im Khalil Ibrahim, hlm.6.
[5] http://xa.yimg.com/kq/groups/15777410/1166456326/name/Ibnu,
Diakses pada 20/11/2014, pukul 08:13.
[6] Muhammad bin Mukarram bin al-Manzhur
al-Afriqi al-Mishri, Lisan al-‘Arab, (Beirut: Dar Shadir, t.t), Jilid
II, hlm. 497-498.
[7] Nizar Ali, (Ringkasan Desertasi) Kontribusi Imam Nawawi dalam Penulisan
Syarh Hadis, (Yogyakarta, 2007), hlm. 4.
[9] Ibid, hlm. 4.
[11] Muhammad Ali
bin Muhammad ibnu ‘Allan, Al-Futuhat al-Rabbaniyyah ‘ala al-Adzkar
al-Nawawiyyah, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Alamiyyah), Tqq. Abdul Mun’im Khalil Ibrahim, hlm.8.
[12] Ibid,
hlm.25-28.
[13] Ibid, hlm.29.
[15] Ibid, hlm. 29.
[16] Ibid, hlm. 30.
[17] Muhammad Ali
bin Muhammad ibnu ‘Allan, Al-Futuhat al-Rabbaniyyah ‘ala al-Adzkar
al-Nawawiyyah, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Alamiyyah), Tqq. Abdul Mun’im Khalil Ibrahim.
[18] Muhammad Ali
bin Muhammad ibnu ‘Allan, Al-Futuhat al-Rabbaniyyah ‘ala al-Adzkar
al-Nawawiyyah, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Alamiyyah), Tqq. Abdul Mun’im Khalil Ibrahim, jilid. 1, hlm. 32.
[19] Ibid, hlm. 32.
[20] Ibid, hlm.
32-33.
[21] Ibid, hlm. 34.
[22] Ibid, hlm. 34.
[23] Muhammad Ali
bin Muhammad ibnu ‘Allan, Al-Futuhat al-Rabbaniyyah ‘ala al-Adzkar
al-Nawawiyyah, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Alamiyyah, Tqq. Abdul Mun’im Khalil Ibrahim. jilid. 1, hlm.
35.
[24] Muhammad Ali
bin Muhammad ibnu ‘Allan, Al-Futuhat al-Rabbaniyyah ‘ala al-Adzkar
al-Nawawiyyah, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Alamiyyah, Tqq. Abdul Mun’im Khalil Ibrahim. jilid. 1, hlm.
96.
[25] Muhammad Ali
bin Muhammad ibnu ‘Allan, Al-Futuhat al-Rabbaniyyah ‘ala al-Adzkar
al-Nawawiyyah, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Alamiyyah), Tqq. Abdul Mun’im Khalil Ibrahim. jilid. 1, hlm.
96.