Jumat, 09 Januari 2015

Silaturahmi dan Kebijaksanaan Beragama



Sejak kemunculan Islam 14abad silam,  ia bukanlah agama egois  dan  apatis yang mementingkan dirinya sendiri, melainkan  ia telah menjadi agama rahmatan lil alamin (rahmat bagi seluruh alam).   Sehingga tidak mengheranan jika banyak muncul  nilai-nilai kemanusian yang diusung dalam Islam, salah satunya ialah semangat silaturahmi.
Dalam sebuah hadits riwayat al-Bukhari no.1309 disebutkan bahwa Telah menceritakan kepada kami Hafsh bin 'Umar telah menceritakan kepada kami Syu'bah dari Muhammad bin 'Utsman bin 'Abdullah bin Mawhab dari Musa bin Thalhah dari Abu Ayyub radliallahu 'anhu; Bahwa ada seseorang laki-laki berkata, kepada Nabi Shallallahu'alaihiwasallam: "Kabarkan kepadaku suatu amal yang akan memasukkan aku kedalam surga". Dia berkata,: "Apakah itu, apakah itu?. Dan Nabi Shallallahu'alaihiwasallam bersabda: "Dia membutuhkannya. Yaitu kamu menyembah Allah dengan tidak menyekutukanNya dengan suatu apapun, kamu mendirikan shalat, kamu tunaikan zakat, kamu sambung hubungan kerabat (silaturahmi) ".
Disebutkan dalam kitab Tanbih al-Ghafilin bahwa silaturahmi memiliki 10 kebaikan, yaitu; 1). mendapat ridha Allah karena silaturahmi merupakan salah satu amal yang diperintahkan-Nya, 2). idkhal al-surur (menyenangkan orang lain), 3). membahagiakan malaikat, 4). silaturahmi itu termasuk pujian yang baik, 5). membuat iblis sedih, 6). menambah umur, 7). menjadikan rizki barakah, 8). membahagiakan orang mati,9). menambah rasa cinta-kasih, 10).  menambah pahala. Dari kesepuluh kebaikan silaturahmi tersebut menunjukkan adanya hubungan mutualisme (saling menguntungkan) antara orang yang bersilaturahmi dan orang yang disilaturahmii. Kedua belah pihak merasa senang dan tidak ada yang merasa dirugikan.
Allah berfirman dalm surat al-Nisa’ ayat 1 yang artinya ” Hei sekalian manusia, bertakwalah kepada Rabbmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan dari padanya Allah menciptakan istrinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (perihalalah) hubungan silaturahmi. Sesungguhnya Allaj selalu menjaga dan mengawasimu.” Imam al-Sa’di menjelaskan dalam tafsirnya  Taisiru al-Karim al-Rahman fi Tafsiri Kalam al-Mannan bahwa ayat ini jelas dimulai dengan khitab Ya ayyuha al-nasu (hey, sekalian manusia) yang menunjukkan bahwa apa-apa yang terkandung di dalam ayat tersebut mulai dari perintah untuk bertakwa kepada Allah, menyambung tali silaturahmi, dan interaksi antara suami dan istri tidak hanya diperuntukkan kepada umat Islam saja, tetapi untuk umat manusia secara umum.
Tidak dapat dipungkiri bahwa silaturahmi lebih mengarah kepada ibadah sosial (ghairu mahdhah) dari pada ibadah personal  (mahdhah),  dan ini yang sepertinya sering dipandang sebelah mata oleh umat Islam. Bahwa kebanyakan dari umat Islam lebih banyak yang mementingkan ibadah personalnya dari pada ibadah sosialnya, hal ini kemudian yang menjadi salah satu faktor pendorong munculnya konflik antara satu golongan dengan golongan lainnya.  Karena interaksi sosial yang kurang terjalin harmonis tersebut, sehingga ketika terjadi gesekan-gesekan kecil antara golongan satu dengan golongan yang lain sangatlah mungkin menimbulkan konflik-konflik yang berkepanjangan, itulah mengapa Islam sangat memprioritaskan ibadah sosial diatas ibadah personal. Ibarat sebuah kolam yang diisi dengan satu ikan dan kolam yang diisi dengan beberapa ikan, tentunya kolam yang diisi dengan beberapa ikan akan lebih produktif dari pada kolam yang diisi hanya satu ikan saja. Begitu juga dengan ibadah sosial, ia akan lebih produktif menuai pahala dan ridha Allah dari pada ibadah personal.
Semangat silaturahmi dalam Islam tidak hanya diperuntukkan untuk orang-orang Islam semata, melainkan juga berlaku untuk orang-orang selain Islam. Mengapa demikian, sebab jika tidak demikian maka akan bertentangan dengan Islam itu sendiri yang memperkenalkan dirinya sebagai agama rahmatan lin alamin. Dalam konteks ke-Indonesiaan—bahkan dunia—, dimana kita hidup dalam keragaman dan kepluralan, kita tidak mungkin bersikap eksklusif. Dengan artian, Islam tidak akan bisa menikmati hidupnya secara tenang jika masih bersikap inklusif-personality dan menutup mata terhadap perbedaan diluar Islam, begitu pun sebaliknya.
Sekarang ini yang penting bukanlah siapa anda, siapa saya, dari mana asalanya, atau semacamnya. Namun, yang dibutuhkan sekarang ialah bagaimana dari berbagai macam ras, suku, agama, atau negara tersebut mampu menciptakan ketentraman, kasih-sayang, cinta-damai antara satu sama lain secara bersama. Islam menyadari akan hal itu, dan lewat media silaturahmi tersebut Islam mencoba manyadarkan akan pentingnya hidup secara berdampingan, bersama, dan bersatu dengan segala perbedaan yang melingkupinya.
Sebagai contoh sederhana, ketika saudara-saudara kita yang beragama Kristen sedang merayakan natal, kita sebagai saudara Muslim mereka sudah seharusnya menghormatinya atau  mungkin kita bisa berkunjung ke rumah mereka sebagi bentuk silaturahmi kita terhadap mereka. Kita hidup bukan hanya sebagai umat Islam saja, tapi juga sebagai manusia yang seharusnya memanusiakan manusia atas dasar kemanusiaan. Kita tidak hidup dalam satu warna, tapi dalam bermacam-macam warna. Sebuah perbedaan tidak akan membawa kita kemana-mana kecuali menuju kemunduran jika kita tidak dapat menyiasatinya secara bijaksana.
Kebijaksanaan dalam beragama sangatlah diperlukan dalam konteks kekinian, agama bukan lagi digunakan sebagai candu, melainkan sebagai alat pemersatu. Sebab tidak ada agama mana pun yang menghendaki adanya pertikaian dan permusuhan satu sama lain, namun jika masih ditemukan pertikaian dan permusuhan atas nama agama sudah dapat dipastikan bahwa agama diperlakukan dengan tidak bijaksana.

Menafsiri Musibah

Indonesia merupakan bangsa yang lahir berkat rahmat Allah yang maha kuasa, bangsa yang memiliki beribu-ribu pulau berserakan dari sabang sampai merauke, bangsa yang terbentuk dari berbagai macam ras, suku, etnis rakyatnya, bangsa kaya yang didominasi oleh orang-orang miskin penyakitan, bangsa yang –katanya—  dipimpin secara dari, oleh, dan untuk rakyat, bangsa yang menguntungkan dan merugikan, bangsa yang menyenangkan namun menyakitkan. Jika mau diteruskan akan banyak ditemukan kalimat yang mencoba mendefinisikan kata “Indonesia” hingga penuh tulisan ini, tetap saja tidak akan ada habisnya.
Karena muncul sedikit saja kejadian di Indonesia, entah itu politik, ekonomi, agama, dan seterusnya  itu akan menjadi sebuah fenomena yang layak dijadikan hot news di berbagai media sosial, apalagi pasar pers yang suka mendramatisir semakin mencetar-membahanakan keadaan. Sebut saja kejadian setahun terakhir ini tentang jatuhnya pesawat Air Asia QZ8501, tanah longsor di Banjarnegara, meletusnya gunung sinabung, banjir di berbagai daerah, angin puting beliung di Pati, dan masih banyak lagi. Tidak mengheran jika dari kejadian-kejian tersebut banyak orang menjuluki Indonesia sebagai “Negeri 1001 musiabah”. 
Sebagai negeri 1001 musibah yang lahir atas rahmat Allah yang maha kuasa, banyak mucul berbagai macam tafsiran terkait fenomena tersebut. Ada yang berpendapat ini adalah cobaan dari Tuhan, sebagiannya mempercayainya sebagai teguran dari Tuhan, bahkan ada yang menafsirkannya sebagai azab dari Tuhan kepada manusia ndonesia, namun ada juga yang menganggapnya hanya sebagai gejala alam biasa.
Kemudian seperti biasa, pendapat-pendapat itu dipaparkan dengan rata-rata meyakinkan. Tentunya, dari paparan-paparan tersebut disesuaikan dengan sikap, daya pikir, dan kemampuan masing-masing. Pebedaan ini pun kiranya tidak perlu didramatisir seperti biasanya sehingga memunculkan perang pendapat yang tidak solutif sama sekali, cukup bercermin pada diri sendiri manakah yang lebih cocok dan pas untuk kita.
Mereka yang biasa berfikir positif dan berpositif pikiran husnudzan pada musibah-musibah yang menimpa Indonesia akan mengatakan bahwa Allah sedang menguji dan mencoba bangsa Indonesia. Al-Quran mengatakan: “Ahasibannasu an yutrakuu an yaquluu aamannaa wahum laa yuftanuun. Walaqad fatanna l-ladziina min qablihim falaya’lamanna l-lladziina shadaquu walaya’lamanna l-kadzibiin.” (QS. 29:2-3). “Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan kami telah beriman, sedang mereka tidak diuji lagi? dan Sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, Maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan orang-orang yang dusta.”
Disamping itu, ada sebuah hadis yang mengatakan: “Idzaa ahabba l-allahu ‘abdan ibtalahu”. “Jika allah mencintai hambanya, maka Ia akan mengujinya”. Jadi, musibah-musibah ini menunjukkan kecintaan Allah kepada bangsa Indonesia dan sebagai alamat baik bagi bangsa Indonesia. Ibarat mahasiswa akan lulus, ia akan diuji terlebih dahulu. Sehingga lewat musibah-musibah tersebut –mungkin— Tuhan mengharapkan bangsa Indonesia menjadi bangsa yang benar-benar matang dan lebih dewasa dari sebelumnya.
Dengan sikap husnudzan seperti ini, musibah-musibah yang bertubi-tubi justru malahirkan harapan-harapan akan datangnya kebaikan-kebaikan. Dari harapan tadi mengantarkan kita menjadi pribadi yang lebih bersabar, memperbaiki kinerja amal dan akan lebih mendekatkan diri kepada-Nya.
Kemudian mereka yang berpendapat bahwa musibah adalah teguran dari Tuhan, mungkin berangkat dari penyaksiannya terhadap berbagai macam kenyataan yang menunjukkan bahwa bangsa ini sudah terlalu jauh melanggar ancer-ancer yang sudah digariskan Tuhan, keadilan sudah menjadi barang yang diperjual belikan, hukum yang seharusnya dujunjung tinggi akan menjadi tumpul di mata penguasa dan menjadi begitu tajam bagi rakyat, merusak alam, keserakahan merajalela, pertikaian dan permusuhan antar golongan, seakan-akan sudah menjadi budaya. Sementra agama yang seharusnya berperan sebagai wasilah meraiah ridha Allah, hanya dianggap sebagai semacam organisasi sosial-politik yang tidak jarang justru merusak kedamaian. Agama hanya menjadi tumpungan bagai mereka yang berkepentingan.
 Al-Quran telah meramalkannya: “ Zhaharal fasaadu filbarri walbahri bimaa kasabat aidinnaasi liyudziqahum ba’dhal-ladzii ‘amiluu la’allahum yarji’un.” (QS.30:41). “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali ke jalan yang benar.”
Maka karenanya, kita mesti malakukan muhasabah, mawas diri, memperbaiki kesalahan-kesalahan yang kita perbuat, dan meluruskan perilaku menuju jalan yang benar. Sebab teguran Tuhan itu bermula dari tingkah-polah kita selama ini, dengan kata lain satu-satunya jalan keluar ialah merubah tingkah-polah kita  menjadi lebih bermoral dan beretika.
Kemudian mereka yang melihat musibah sebagi azab dari Tuhan mengaitkannya dengan sebuah ayat dalam Quran: “Qul huwal qadiru ‘alaa an yab’asta ‘alaikaum adzaaban min fauqikum au min tahti arjulikum au yalbisakum syiyaa’an wayudziiqa ba’dhakum ba’sa ba’dhin; udzur kaifa nusharriful ayaati la’allahum yafqahum.” (QS.6:65). 65. “Katakanlah Dialah yang berkuasa untuk mengirimkan azab kepadamu, dari atas kamu atau dari bawah kakimu atau Dia mencampurkan kamu dalam golongan-golongan (yang saling bertentangan) dan merasakan kepada sebahagian kamu keganasan sebahagian yang lain. Perhatikanlah, betapa Kami mendatangkan tanda-tanda kebesaran Kami silih berganti agar mereka memahami".
Jika kita menyaksikan apa yang terjadi di Indonesia sekarang ini, memanglah cocok dengan apa yang disinggung dalam ayat diatas. Coba perhatikan azab yang datang dari atas seperti hujan, topan, angin putting beliung, petir dan lain lain. Yang datang dari bawah seperti gempa bumi, banjir, tsunami, tanah longsor dan sebagainya. Keparahan tersebut ditambah lagi dengan carut marutnya kehidupan sosial kemasyarakatan kita, baik dari masyarakat agama, polotik, ekonomi, semuanya berebut mencapai kepentingannya masing-masing bahkan banyak yang berakhir dengan kebencian dan perpecahan. Jika musibah-musibah ini azab –semoga tidak— maka yang wajib dilakukan terutama oleh umat Islam adalah bershalawat—mencoba menghadirkan Rasulullah SAW— dan beristighfar memohon ampun kepada Allah. Kenapa demikian? Sebab menurut al-Quran yang mampu menolak azab Allah hanyalah kehadiran Rasulullah SAW dan istighfar (QS.8:33).
Sedangkan mereka yang menganggap musibah hanya sebagai gejala alam biasa, biasanya akan membicarakan masalah upaya meningkatan penanganan bencana, pendidikan sadar bencana kepada masyarakat, dan peningkatan manajemen prasarana bantuan kepada para korban bencana.
Terlepas dari pendapat-pendapat terkait musibah yang bertubi-tubi menimpa bangsa ini, kita sebagai pemilik sah  bangsa ini tentu prihatin dan berharap musibah-musibah itu berhenti—meski kelihatannya mustahil—. Kita patut mengapresiasi semua pihak yang dengan pendapat, sikap,daya pikir, dan keyakinan masing-masing mencoba melakukan upaya-upaya menuju kesana. Mulai dari yang melakukan perbaikan diri, perbaikan kinerja, taubat, muhasabah, mawas diri, meningkatkan majemen penanganan bancana, bahkan sekedar bersabar dan berdoa. Mengapa? Sebab mereka memiliki rasa tau diri, menyadari kepemilikannya, memikirkan dengan keyakinan mereka, dan berbuat sesuatu untuk bangsanya.
Demikian lebih baik, daripada mereka yang hanya berdiam diri sambil pamer kepintaran dengan menyalahkan pihak-pihak yang sudah  berupaya sesuai kemampuan dan keyakinannnya. Atau mereka yang sudah terbiasa mencari kambing hitam dalam setiap masalah, bahkan mempermasalahkan masalah yang sebenarnya tidak perlu dipermasalahkan.