Sejak
kemunculan Islam 14abad silam, ia bukanlah
agama egois dan apatis yang mementingkan dirinya sendiri,
melainkan ia telah menjadi agama rahmatan
lil alamin (rahmat bagi seluruh alam). Sehingga tidak mengheranan jika banyak muncul
nilai-nilai kemanusian yang diusung
dalam Islam, salah satunya ialah semangat silaturahmi.
Dalam
sebuah hadits riwayat al-Bukhari no.1309 disebutkan bahwa Telah menceritakan
kepada kami Hafsh bin 'Umar telah menceritakan kepada kami Syu'bah dari
Muhammad bin 'Utsman bin 'Abdullah bin Mawhab dari Musa bin Thalhah dari Abu
Ayyub radliallahu 'anhu; Bahwa ada seseorang laki-laki berkata, kepada Nabi
Shallallahu'alaihiwasallam: "Kabarkan kepadaku suatu amal yang akan memasukkan
aku kedalam surga". Dia berkata,: "Apakah itu, apakah itu?. Dan Nabi
Shallallahu'alaihiwasallam bersabda: "Dia membutuhkannya. Yaitu kamu
menyembah Allah dengan tidak menyekutukanNya dengan suatu apapun, kamu
mendirikan shalat, kamu tunaikan zakat, kamu sambung hubungan kerabat
(silaturahmi) ".
Disebutkan
dalam kitab Tanbih al-Ghafilin bahwa silaturahmi memiliki 10 kebaikan,
yaitu; 1). mendapat ridha Allah karena silaturahmi merupakan salah satu amal
yang diperintahkan-Nya, 2). idkhal al-surur (menyenangkan orang lain),
3). membahagiakan malaikat, 4). silaturahmi itu termasuk pujian yang baik, 5). membuat
iblis sedih, 6). menambah umur, 7). menjadikan rizki barakah, 8). membahagiakan
orang mati,9). menambah rasa cinta-kasih, 10). menambah pahala. Dari kesepuluh kebaikan
silaturahmi tersebut menunjukkan adanya hubungan mutualisme (saling
menguntungkan) antara orang yang bersilaturahmi dan orang yang disilaturahmii.
Kedua belah pihak merasa senang dan tidak ada yang merasa dirugikan.
Allah berfirman dalm surat al-Nisa’ ayat 1 yang artinya ”
Hei sekalian manusia, bertakwalah kepada Rabbmu yang telah menciptakan kamu
dari diri yang satu, dan dari padanya Allah menciptakan istrinya; dan dari pada
keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan
bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling
meminta satu sama lain, dan (perihalalah) hubungan silaturahmi. Sesungguhnya
Allaj selalu menjaga dan mengawasimu.”
Imam al-Sa’di menjelaskan dalam tafsirnya Taisiru al-Karim al-Rahman fi Tafsiri Kalam
al-Mannan bahwa ayat ini jelas dimulai dengan khitab Ya ayyuha al-nasu
(hey, sekalian manusia) yang menunjukkan bahwa apa-apa yang terkandung di
dalam ayat tersebut mulai dari perintah untuk bertakwa kepada Allah, menyambung
tali silaturahmi, dan interaksi antara suami dan istri tidak hanya
diperuntukkan kepada umat Islam saja, tetapi untuk umat manusia secara umum.
Tidak dapat dipungkiri bahwa silaturahmi lebih mengarah kepada
ibadah sosial (ghairu mahdhah) dari pada ibadah personal (mahdhah), dan ini yang sepertinya sering dipandang
sebelah mata oleh umat Islam. Bahwa kebanyakan dari umat Islam lebih banyak
yang mementingkan ibadah personalnya dari pada ibadah sosialnya, hal ini
kemudian yang menjadi salah satu faktor pendorong munculnya konflik antara satu
golongan dengan golongan lainnya. Karena
interaksi sosial yang kurang terjalin harmonis tersebut, sehingga ketika
terjadi gesekan-gesekan kecil antara golongan satu dengan golongan yang lain
sangatlah mungkin menimbulkan konflik-konflik yang berkepanjangan, itulah
mengapa Islam sangat memprioritaskan ibadah sosial diatas ibadah personal.
Ibarat sebuah kolam yang diisi dengan satu ikan dan kolam yang diisi dengan
beberapa ikan, tentunya kolam yang diisi dengan beberapa ikan akan lebih
produktif dari pada kolam yang diisi hanya satu ikan saja. Begitu juga dengan
ibadah sosial, ia akan lebih produktif menuai pahala dan ridha Allah dari pada
ibadah personal.
Semangat
silaturahmi dalam Islam tidak hanya diperuntukkan untuk orang-orang Islam
semata, melainkan juga berlaku untuk orang-orang selain Islam. Mengapa
demikian, sebab jika tidak demikian maka akan bertentangan dengan Islam itu
sendiri yang memperkenalkan dirinya sebagai agama rahmatan lin alamin.
Dalam konteks ke-Indonesiaan—bahkan dunia—, dimana kita hidup dalam
keragaman dan kepluralan, kita tidak mungkin bersikap eksklusif. Dengan artian,
Islam tidak akan bisa menikmati hidupnya secara tenang jika masih bersikap
inklusif-personality dan menutup mata terhadap perbedaan diluar Islam, begitu
pun sebaliknya.
Sekarang
ini yang penting bukanlah siapa anda, siapa saya, dari mana asalanya, atau
semacamnya. Namun, yang dibutuhkan sekarang ialah bagaimana dari berbagai macam
ras, suku, agama, atau negara tersebut mampu menciptakan ketentraman,
kasih-sayang, cinta-damai antara satu sama lain secara bersama. Islam menyadari
akan hal itu, dan lewat media silaturahmi tersebut Islam mencoba manyadarkan
akan pentingnya hidup secara berdampingan, bersama, dan bersatu dengan segala
perbedaan yang melingkupinya.
Sebagai
contoh sederhana, ketika saudara-saudara kita yang beragama Kristen sedang
merayakan natal, kita sebagai saudara Muslim mereka sudah seharusnya
menghormatinya atau mungkin kita bisa
berkunjung ke rumah mereka sebagi bentuk silaturahmi kita terhadap mereka. Kita
hidup bukan hanya sebagai umat Islam saja, tapi juga sebagai manusia yang seharusnya
memanusiakan manusia atas dasar kemanusiaan. Kita tidak hidup dalam satu warna,
tapi dalam bermacam-macam warna. Sebuah perbedaan tidak akan membawa kita
kemana-mana kecuali menuju kemunduran jika kita tidak dapat menyiasatinya
secara bijaksana.
Kebijaksanaan
dalam beragama sangatlah diperlukan dalam konteks kekinian, agama bukan lagi
digunakan sebagai candu, melainkan sebagai alat pemersatu. Sebab tidak ada
agama mana pun yang menghendaki adanya pertikaian dan permusuhan satu sama
lain, namun jika masih ditemukan pertikaian dan permusuhan atas nama agama
sudah dapat dipastikan bahwa agama diperlakukan dengan tidak bijaksana.